Di atap asrama sekolah, seorang perempuan
berambut hitam sebahu duduk melamun memeluk erat kedua lututnya. Matanya
menengadah ke atas menikmati keindahan langit mentari senja yang kini sedikit
demi sedikit tenggelam tergantikan oleh titik garis yang berbentuk bintang
sebagai pertanda siang akan mulai berganti malam dan hari ini pun akan segera
berakhir.
Seketika, terpantulkan sosok bayangan pada
permukaan bola matanya. Sosok perempuan cantik berparas oriental dengan pipi
chubby menggemaskan tersenyum dari atas sana (Awan.red). ‘Kamu masih cantik
dengan senyuman itu, Ve’ gumamnya dalam hati. ‘Andai, insiden itu tak terjadi.
Mungkin saat ini kamu ada di sampingku. Menikmati keindahan yang Tuhan
ciptakan’ Sesalnya kemudian.
Otaknya pun bekerja melintasi kejadian tiga tahun
silam. Masih sangat teringat jelas kejadian itu. Ve melindungi dirinya dan rela
bertukar nyawa dengannya. “Ve, aku kangen kamu. Aku kangen perhatianmu,
aku kangen dengan Ve yang menyebalkan, dan aku juga kangen ocehanmu yang
bisa membuat seorang Kinal naik darah” teriak perempuan yang memanggil dirinya
sendiri Kinal.
‘Tap....tap...tap’ terdengar suara langkah kaki
seseorang mendekati Kinal dari arah belakang. ‘hap’ seseorang itu menutup kedua
mata Kinal dengan tangannya. Kinal meraba tangan seseorang itu. Sepertinya
tangan itu tak asing untuk ia pegang. Perlahan dia menyingkirkannya, dan
menoleh ke arah belakang. ‘Hah. Kamu?’ Kinal sangat terkejut dengan apa yang ia
lihat kini. Kinal mengucek-ucek kedua matanya dan menepuk-nepuk kedua pipinya.
Berasa seperti mimpi. ‘Inikah keajaiban Tuhan?’ sebuah pertanyaan muncul
dibenaknya. Sangat jelas Kinal mampu melihatnya, bahkan menyentuhnya.
Mereka terdiam sejenak, kemudian Dia menatap
lekat kedua mata Kinal. Seperti ada cahaya lorong waktu dalam matanya. Kinal
terhipnotis. Dia terbawa arus lorong itu, menerobos lintasan waktu mencoba
mengingatkan kenangan indah yang singkat itu.
***
Hari ini, adalah hari pertama Kinal mengenakan
putih abu-abu. Namun, dia masih tertidur lelap di atas ranjangnya, masih
menikmati dunia imajinasinya, bergelut dengan sebuah guling yang ia peluk
dengan sangat erat dan dengan indah ia melukiskan sebuah pulau misterius di
atas bantalnya.
“Kinal. Ayo Bangun...!!” Teriak seorang tiba-tiba
sembari mengguncang-guncangkan tubuh Kinal.
“Ehhmm. Apaan sih, Ve? Aku masih ngantuk” Jawab
Kinal cuek.
“Udah jam enam lebih, Kinal. Kamu mau kita
terlambat sekolah?”
“Berangkat tinggal berangkat, ngapain harus
nungguin aku sih? Aku bolos hari ini” ucap Kinal terkesan jutek terhadap Ve,
teman sekamarnya itu dan tanpa dosa Kinal meneruskan aktivitas tidurnya.
“Bolos? Ya Tuhan, mau jadi apa generasi bangsa
kita ini kalau semua remajanya kayak kamu? MALES. Mungkin sepuluh tahun
mendatang, kamu akan menjadi salah satu dari dua juta orang pengangguran di
Indonesia. Dan saat itu pula, aku malu punya temen kayak kamu”. Sindir Ve
berharap Kinal sadar agar ia tidak bolos sekolah.
Tak di sangka Kinal terpancing emosinya. Dia tak
terima dengan sindiran Ve yang terdengar sangat pedas di telinganya. Dia bangun
dan ingin cepat-cepat melabrak Ve yang menurutnya tidak bisa menyaring
ocehannya.
“Jaga bicara kamu. Aku nggak akan menjadi
seseorang yang gagal. Dunia akan berada dalam genggamanku, dan kamu yang akan
aku usir dari dunia ini” Emosi Kinal meledak.
“Oh, Ya? Coba aja kalau kamu bisa.” Ucap Ve yang
diiringi senyuman khasnya yang tertangkap oleh Kinal sedang meremehkan dia.
***
“Kinal, Cepetan...!!!” kembali teriakan Ve
menggema di tiap sudut kamar ini. Benar-benar sangat memekakan telinga Kinal.
“Bentar napa? Aku lagi beribet pake dasi nie”
Selama ini memang Kinal tak pernah menggunakan
dasi sendiri. Dengan alasan susah lah, ribet lah, akhirnya Mama yang selalu
mengalah membantu Kinal untuk mengenakannya.
Tiba-tiba Ve menghampiri Kinal, lalu
menertawainya. “Haha. Dasar anak Mami. Pake dasi sendiriaja nggak bisa. Bisanya
apa kamu? Sini aku bantu”
“Nggak usah. Aku nggak butuh bantuan kamu..!!”
Tolak Kinal gengsi.
“Kalau kita nggak terlambat, aku nggak akan
bantuin kamu kok, Nal” ucap Ve tak mau kalah, kemudian langsung melingkarkan
dasi ke kerah baju Kinal. Dengan telaten, dia melipat-lipatkannya hingga membentuk
dasi yang rapi. Kinal hanya pasrah memperhatikannya. ‘kemana sifat
menyebalkannya tadi?’
“Yeah. Selesai. Sarapan gih. Aku udah siapin nasi
goreng di atas meja belajar kamu” Ucap Ve kembali menaruh perhatiannya pada
Kinal. Sungguh ini membuat Kinal bingung memikirkan pertanyaannya tadi. ‘Inikah
kepribadian dia sebenarnya? Atau emang dia punya dua kepribadian?’
“Kinal, Ayo. 20 menit lagi gerbang di tutup”
teriak Ve menyadarkan lamunan Kinal yang langsung bergegas untuk sarapan.
***
Asrama dengan sekolah memang tidak dalam satu
gedung. Butuh waktu 10 menit untuk berjalan ke sekolah. Selama perjalanan, Ve
mengoceh tak jelas. Dia terus menyalahkan Kinal atas keterlambatannya hari ini.
Kinal yang susah dibangunkan. Kinal yang mandinya lelet dan Kinal yang
sarapannya lama. Hal ini membuat Kinal tersadar bahwa teman sekamarnya itu
telah kembali ke kepribadiannya yang awal ‘Menyebalkan’. Kinal muak dan tidak
kuat dengan ocehannya. Daripada beradu argumen seperti tadi pagi yang berujung
remehan Ve padanya, Kinal memutuskan untuk lari meninggalkannya. Anehnya, Ve
tak tinggal diam. Dia malah berlari mengejar Kinal. Saking cepatnya Kinal
berlari, tiba-tiba dia menabrak seseorang seniornya dan menumpahkan minuman
tepat di bajunya. Kinal yang notabene adalah orang yang cuek, menganggap
kejadian itu biasa saja. Dia tidak minta maaf, malah cepat-cepat berlari untuk
menjauhkan dirinya pada Ve. Dia tak ingin jika di kelas harus duduk sebangku
dengan Ve.
“Sial..!! Siapa sih dia?” ucap Rica sambil
membersihkan bekas tumpahan di bajunya.
“Bukannya dia Kinal yah? Adik kelas kita waktu
SMP yang sempat mengalahkan lu di pertandingan Final Taekwondo” Terka Ghaida,
salah seorang teman Rica.
Kekalahan itu sangat memalukkan bagi Rica.
Seorang kakak kelas bisa dengan mudahnya di kalahkan oleh adik kelasnya
sendiri.
“Iya kah?” Tanya Rica dengan tatapan yang masih
ia tujukan pada Kinal yang sudah jauh dari pandangannya. Mata yang menyiratkan
dendam diselubungi oleh emosi yang membuat Rica ingin memberikan sebuah pelajaran
pada Kinal. “Kita harus buat dia bertekuk lutut dan bersujud meminta maaf ke
gue” ucap Rica pada teman-teman se-Gengnya.
***
Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Ve melihat
kejadian itu. “Waduh, sepertinya Kinal akan mendapat masalah besar. Aku harus
gimana? Ayo, Ve. Berpikir. Kasihan Kinal”
Tanpa berpikir lebih panjang lagi, Ve
memberanikan diri untuk mendekati keempat seniornya itu.
“Kak, maafin temen aku tadi. Dia lari karena aku
mengejarnya. Jadi, kalau dia menabrak kakak tadi, itu salahku. Bukan salah dia.
Please, maafin kita” ucap Ve membungkukan badannya.
Rica mengalihkan pandangannya pada adik kelas
yang tiba-tiba datang menghapirinya, meminta maaf untuk Kinal. Makin membuatnya
emosi.
“Oh. Lu temannya Kinal?” tanya Rica dengan
pandangan yang tak mengenakan.
Ve membenarkan posisi berdirinya agar dapat
sejajar dengan keempat seniornya itu. Tak disangka Rica malah mendorong bahu
Ve.
‘Bug’ punggung Ve mentok menempel dinding.
“Ma...maafin kita, kak” Jawab Ve menunduk
ketakutan. Menatap mata seniornya pun ia tak berani. Ve memang bukan sosok
pemberani seperti ucapannya yang terkesan selalu berani. Meski begitu, tekadnya
begitu kuat untuk melindungi orang-orang yang ada di dekatnya, bahkan jikalau
ia yang akan celaka ia akan lakukan itu demi mereka.
“Sampaikan ke dia, sepulang sekolah nanti temuin
gue” Perintah Rica yang membuat Ve makin ketakutan.
“Ingat. Kalau loe ga nyampein ini, loe yang akan
berhadapan dengan kita” Bisik Sendy ditelinga Ve dengan nada mengancam.
Diakhiri dengan pukulan tangannya di perut Ve, membuat Ve mengerung kesakitan.
***
Ve menjadi orang terakhir yang masuk ke dalam
kelas. Dia terlihat berjalan lunglai sembari memegangi perutnya yang terasa
sakit akibat pukulan tadi. Ve melihat sekeliling kelasnya tak ada bangku
kosong. Hanya satu di sebelah Kinal. Ve enggan-engganan duduk di samping Kinal.
Andai ada bangku kosong, mungkin Ve memilih untuk duduk dengan teman lain.
Bukannya dia marah pada Kinal, karena insiden tadi. Tapi, dia makin tak tau
harus berbuat apa, menyampaikan pesan senior pada Kinal atau menyembunyikannya.
Ve duduk tanpa menoleh sedikitpun pada Kinal. Dia
membuka tasnya, mengambil sebuah novel dan kemudian membacanya. Kinal merasa
keberadaannya diacuhkan oleh Ve. Kinal pun membuka suara. “Hah. Mau aku berlari
secepat apapun buat menghindari agar aku nggak sebangku sama kamu, kayaknya
percuma. Tuhan sudah menuliskan dalam buku takdir-NYA agar kamu selalu dengan
aku. Nasib nasib. Se-kamar sama kamu, sekarang sebangku sama kamu. Gimana
hari-hari aku tiga tahun nanti, ya Tuhan? Harus barengan mulu dengan orang yang
nyebelin kayak kamu” keluh Kinal sambil melirikkan matanya ke arah Ve yang tak
memberi tanggapan.
Matanya masih fokus terhadap apa yang ia baca.
Meskipun begitu telinga Ve masih normal untuk mendengar keluhan Kinal. Dalam
otaknya kini tak ada ruang untuk menyerang ucapan Kinal, semua dipenuhi dengan
bagaimana caranya agar Kinal dapat selamat dari para senior yang dendam
terhadapnya.
Kinal merasa ada keanehan pada diri Ve. Sorot
matanya memang terpaku ke arah novel terlihat seperti membaca, padahal tidak.
Kinal menerka pasti ada sesuatu yang terjadi padanya pagi tadi. ‘Apa dia sedang
sakit?’ Pikir Kinal, karena seingatnya ketika masuk kelas Ve memegangi perutnya.
Namun, gerakan-gerakan yang Ve tunjukan saat ini, seperti tiba-tiba menggigit
pena, mengusap-usap punuknya dan sesekali memegangi kepalanya itu seolah
mengisyaratkan kalau dia sedang gelisah ‘Atau dia ada masalah?’ pertanyaan
kedua pun muncul dalam benak Kinal. ‘Ah. Ngapain juga aku mikirin dia. Dia juga
belum tentu mikirin aku’ elak batinnya kemudian.
***
Bel sekolah pun berdering pertanda sekolah telah
usai. Wajah Ve makin menampakan kegelisahannya. Dia kembali teringat ancaman
seniornya.
‘Bilang. Nggak. Bilang. Nggak. Bilang. Nggak.
Okeh, nggak. Aku akan mencoba melindungi dia semampu aku’ dalam batin Ve telah
menetukan pilihannya. Entah pilihan itu benar atau tidak. Sepertinya Ve telah
memikirkan masak-masak pilihannya seharian ini, termasuk konsekuensi yang ia
dapat kalau dia bakal jadi korban seniornya.
Kinal makin risih melihat gelagat Ve ini. Kinal
yang cuek, kini menjadi sedikit mengkhawatirkan Ve. “Kamu kenapa? Sakit?”
Tanyanya pada Ve yang masih memberaskan alat tulisnya yang berserakan di atas
meja.
“Aku nggak kenapa-kenapa kok, Nal. Yuk, kita
pulang” jawabnya disertai dengan senyuman. Pintar sekali Ve menutupi apa yang
dia rasa dengan senyumnya. Senyum ‘terpaksa’ yang ia pertontonkan agar Kinal
tak mengkhawatirkannya. Namun Kinal lebih pintar, meski dia cuek namun dia peka
terhadap perasaan orang.
***
Baru selangkah mereka meninggalkan ruang kelas,
Ve melihat Rica CS bergerombol menghadang jalan yang mereka lalui pagi tadi.
‘Aduh. Jangan sampai mereka melihat Kinal. Bisa bahaya nantinya’ Otak Ve mulai
berpikir mencari cara untuk melarikan Kinal.
“Woy, ngapain masih bengong di sini, Ve?” tanya
Kinal menepuk pundak Ve, membuyarkan lamunannya.
“Ah, Nal. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat
yang indah banget. Yuk..!!” Tanpa aba-aba Ve menggendeng tangan Kinal, mengajaknya
berjalan berlawanan arah dengan jalan yang telah dihadang Rica CS.
“Mau kemana sih, Ve?” Kinal masih mencoba
memberontak agar Ve melepaskan gandengannya.
“Udah, kamu ikut ajah” genggaman tangannya makin
erat yang membuat Kinal pasrah mau di bawa kemana.
***
Sesampainya di tempat yang di maksud Ve, Kinal
tidak menemukan sesuatu yang indah. ‘Hah. Di atap Asrama? Apa indahnya?’
Kinal bergegas untuk pulang. Namun lagi-lagi
tangannya tertahan oleh genggaman tangan Ve.
“Yuk kita duduk di sana” ajaknya kembali menunjuk
tempat strategis untuk memandangi langit senja. Lagi-lagi
Kinal hanya pasrah, mengikutinya saja.
Mereka duduk bersebelahan. Ve memandang langit
dengan rasa kekaguman yang luar biasa, nampak sekali dari wajahnya. Sementara
itu, Kinal malah memandangi wajah Ve yang nampak lebih tenang daripada sewaktu
di sekolah tadi.
“Aku punya hobby memandangi langit. Warnanya yang
putih dipadupadankan dengan biru selalu bisa menenangkan hati aku” Ve membuka
suara di keheningan yang mereka ciptakan sedari tadi. Dia tak sadar kalau
ucapannya menyiratkan bahwa saat ini dia dalam keadaan yang tidak tenang. Dan
Kinal mampu menangkap maksud tersirat itu.
“Kamu beneran nggak kenapa-napa?” Kinal
benar-benar ingin tau.
“Aku nggak kenapa-kenapa kok. Suer deh” jawab Ve
menunjukan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf “v” mencoba
meyakinkan Kinal.
“Eh, iya Nal. Apa arti bahagia menurut kamu?”
tanya Ve mengalihkan pembicaraan Kinal.
“Aku nggak tau bahagia itu apa” jawab Kinal
sekenanya.
“Heh?” Ve menoleh ke arah Kinal, memasang wajah
cengonya. Berbeda dengannya, tatapan Kinal masih tetap lurus ke depan.
“Semenjak Mama jadi single parents, dia menjadi orang yang super sibuk. Saking
sibuknya, dia nggak dateng ke pertandingan yang sangat penting buat aku.
Padahal saat itu aku butuh supportnya. Aku ingin membuat dia bangga ke aku. Ah.
Tapi kayaknya, dia udah nggak perhatian lagi ke aku, Ve. Aku kesepian. Ini yang
membuat aku memutuskan untuk tinggal di asrama ini. Meskipun nggak ada dia, tapi
setidaknya aku akan memiliki banyak teman dan aku nggak akan pernah merasa
kesepian lagi” Tak sadar bulir air mata jatuh membasahi pipi mulus Kinal.
Mungkin ini pertama kalinya dalam sejarah hidup
Kinal mencurahkan perasaannya kepada seseorang. Ve merangkul bahu Kinal.
Sepertinya dia dapat merasakan apa yang Kinal rasakan. Ve mencoba
menenangkannya.
“Kamu liat matahari di atas sana?” tanyanya
sambil mengarahkan telunjuknya ke arah sang surya yang hampir tenggelam. “Dia
juga sendiri kayak kamu, Dia juga kesepian. Nggak ada seseorang pun yang
menemaninya. Tapi dia tetap bersinar. Kilaunya memberi kehidupan untuk makhluk
lainnya. Jadi, meskipun kita sendiri, nggak ada satu pun orang yang sejalan
dengan kita, nggak ada seorang pun yang mensupport kita, kita harus tetap fokus
pada tujuan kita. Jika tujuan kamu adalah membuat bangga Mama kamu, meskipun
dia nggak pernah mensupport kamu, kamu harus tetap berusaha. Buktikan kalau
kamu emang pantas buat dia banggakan”
Mendengar ucapan Ve, senyum mengembang di bibir
Kinal. Dia merasa tidak salah mencurahkan perasaannya pada Ve.
“Kalau menurut kamu, bahagia itu apa?” Kinal
berbalik tanya.
“Aku bahagia melihat orang tersenyum karena aku.
Kayak liat kamu sekarang ini, aku sangat bahagia”
“Dih..Modus banget”
“Nggak percaya ya udah. Prinsip aku cuma satu,
bersyukur pada Tuhan maka kebahagian akan datang dengan sendirinya pada kita”
“Iya deh iya, percaya aja urang mah ama Dedy Ve
yang dari tadi ngeluarin kata-kata mutiaranya” Ejek Kinal bergurau mengeluarkan
logat Sundanya.
“Jiah. Aku cewek Kinal. Masak iya dipanggil
‘Dedy’? Mama Veranda. Itu lebih cocok buat aku” Sanggah Ve.
“Ah iya. Pantes aja wajah kamu tua, Ve” Ejek
Kinal lagi.
“Aku bukannya tua, tapi dewasa. Dibandingkan
kamu, aku lebih cantik lagi” Ve balik mengejek.
“Parah...parah. Ngejeknya” Kinal cemberut.
“Ih..Kinal. Marah ya? Makin jelek tau” Ve
menggelitiki pinggang Kinal.
Mereka menjadi saling bergurau dan terlihat makin
akrab. Namun tiba-tiba... ‘Brakkkkk’ seseorang menendang balok kayu, sehingga
terpecah menjadi beberapa bagian. Kinal dan Ve kaget, ‘siapa yang melakukan
itu?’. Mereka menoleh bebarengan, di hadapannya sudah berjejer empat seniornya.
“Gue cari-cari ternyata kalian disini?” ujar Rica.
Kinal tak asing dengan sosok yang berbicara itu.
“Kak Rica?” tebaknya.
“Lu masih ingat gue, Nal?” jawab Rica berbalik
tanya.
“Yang harusnya kalian hadapi itu aku, bukannya
Kinal” Ve tak memberi kesempatan Kinal untuk menjawab pertanyaan Rica yang
terkesan basa-basi itu.
“Ve?” Kinal bingung berani sekali Ve berbicara
seperti itu. ‘ada masalah apa di antara mereka’ pikirnya.
Seketika, Ve bersujud di hadapan Rica CS, “Aku
minta maaf atas nama Kinal” ucapnya membuat Kinal makin bingung apa yang telah
diperbuatnya kepada ke-empat seniornya? Sampai-sampai Ve harus minta maaf atas
nama dia? Tiba-tiba, Kinal teringat kejadian pagi tadi. ‘Jangan-jangan? Jadi,
Seharian ini? Dia mencoba melindungi aku’ Kinal membungkam mulutnya.
Rica membangunkan Ve yang sedari tadi bersujud
agar berdiri sejajar dengannya. “Gue nggak butuh permintaan maaf lu, Bodoh. tapi
permintaan maaf dari temen lu itu...!!!”.
‘Bug’ Rica memukul perut Ve sampai dia terlempar
kebelakang dan terbatuk-batuk. Kinal tak terima melihat Ve diperlakukan seperti
itu. Dengan sigap dia langsung menyerang Rica. ‘Bug. Bug. Bug.’ Tiga pukulan
beruntun berhasil dilayangkan Kinal untuk melemahkan Rica. Rica yang tak bisa
membalasnya meminta agar teman se-gengnya membantunya.
“Woy, kalian ngapain bengong..!! Hajar dia..!!”
Mereka pun ikut menyerang Kinal. Namun itu tak
menjadi masalah buat Kinal, sang juara Taekwondo. Tak butuh waktu lama, ia
mampu melumpuhkan ketiganya. Di liriknya, Rica yang masih menyeka darah di
sudut bibirnya. Kinal kembali menghajarnya. “Ini pelajaran buat orang yang
sudah nyakitin sahabat, aku”.
‘Bug’ tanpa ampun Kinal menghajarnya. Ghaida yang
masih bisa bangkit, mengambil patahan balok kayu dengan ujung runcing. Dari
arah belakang Kinal, Ghaida tengah siap melayangkan pukulan patahan itu tepat
di kepala Kinal. Ve melihatnya. Dengan cekatan ia lari untuk melindungi Kinal.
Alhasil, kepala Ve-lah yang terpukul oleh patahan balok kayu itu. Darah segar
pun mengalir dari pelipisnya. Rica CS yang melihat Ve berbasuh darah, mereka
segera berlari. Ada ketakutan kalau-kalau mereka tertangkap sebagai tersangka
dalam kasus penganiayaan Ve. Ini akan sangat fatal buat masa depan keempatnya
jika mereka harus merasakan kehidupan dalam jeruji besi.
Ve sudah tak sadarkan diri. Kinal mencoba
menepuk-nepuk wajahnya. Sedikit ada harapan manakala mata Ve sedikit terbuka.
Sayup-sayup pandangan Ve melihat Kinal yang menopang tubuhnya serta menangisi
dirinya. “Kinal” panggilnya seraya tersenyum. Namun hal tersebut tak
berlangsung lama, karena detik selanjutnya mata Ve kembali terpejam karena
jiwanya telah terpisah dari raganya.
***
“Kamu ingat kejadian itu?” tanya seseorang yang
telah mengembalikan Kinal menelusuri lorong waktu itu.
‘Hmmm’ Kinal hanya bisa menganggukkan kepalanya.
“Aku sebenarnya nggak ingin mengingat kejadian itu
lagi. Aku yang seharusnya mati bukan kamu” Kinal masih saja menyalahkan dirinya
atas insiden itu.
‘Sssttt’ Telunjuk seseorang itu menempel di bibir
Kinal.
“Tuhan telah mentakdirkan ini semua. Masih ingat
perkataan aku? Selama kita bersyukur kebahagiaan akan datang dengan sendirinya ke
kita. Karena insiden itu, bukannya mama kamu jadi lebih perhatian ke kamu dan
mencurahkan kasih sayangnya kembali ke kamu?”
‘Hmmm’ Kinal hanya mampu mengangguk.
“Ve..” Kinal menitikan airmata dan ingin
memeluknya namun pelukan itu terlepas, sosok bayangan Ve itu telah menghilang
tiba-tiba, mereka sudah tidak dapat lagi bersentuhan. Mata Kinal kembali
menengadah ke langit, ‘Meski kita hanya sehari bersama dalam satu kenangan,
namun kamu memberikan banyak pelajaran yang sangat berarti buat aku. Makasih
Ve, aku akan buktikan ke kamu. Kamu nggak akan pernah malu punya sahabat kayak
aku. Karena aku pasti bisa untuk kamu banggakan’. Kehadiran Ve senja ini
memunculkan motivasi itu lagi.
Meski mereka tak lagi dalam satu alam yang
sama, namun jiwa mereka menyatu. Karena selamanya Ve akan hidup dalam sanubari
Kinal. Memberinya kekuatan untuk mengarungi kehidupan dunia ini.
-THE END-
Writer : Hanifah
Argubie
Twitter : @HanBie_48
2 komentar:
huuuaaah mewek keren bingits ceritanya :'(
hehe...makasih kakak udah mau mampir dan baca karya kita. Stay di blog kita yaa, akan ada fanfic yang lebih menarik deh...*mungkin mungkin mungkin ( Jiah malah Higurashian )
Posting Komentar