Jumat, 23 Januari 2015

GOMEN NE SUMMER





“•••biarlah ku hanya menyapamu lewat senandung doa, agar untukmulah segala kebaikan, Agar bersamamulah segala keindahan”
.
.
.
.
“Istirahat sepuluh menit!”

Ve memandang keluar jendela mobil. Kali ini ia mendapatkan sajian keindahan alam yang hampir tak pernah dilihatnya. Kesibukan didunia enternain mungkin menjadi faktor utamanya. Deburan pelan ombak menuju sisi pantai. Matahari bersinar dengan segenap cahayanya juga pepohonan menari diantara orang tertawa. Seandainya saja waktu istirahatnya selama satu jam, sudah pasti Ve memilih berendam diair laut, mengejar ombak atau bahkan mendirikan istana pasir. Daripada hanya duduk didalam mobil sambil memainkan handphone miliknya. Ia menghela nafas panjang saat hatinya terus mendesak.

Tangan kanannya meraih botol yang berisi teh hangat untuk membasahi kerongkongan yang mulai kering. Bosan. Mungkin itulah yang tengah dirasakan gadis yang baru memulai karir didunia entertin. Ia mengalihkan pandangan kelayar handphonenya saat mendengar suara “game over!”. Gadis berambut hitam itu langsung mematikan ponselnya.

Ve melirik jam dilengannya. Masih ada tujuh menit sebelum syuting kembali dimulai. Pandangannya tertuju pada pemuda yang duduk di tepian pantai, menatap kearah laut. Awalnya Ve tidak mengetahui pemuda yang menghalangi pandangannya itu, saat ia memperhatikan baju yang dikenakannya ia mulai sadar. Dia Evan, mantan teman sekelasnya ketika disekolah menengah atas dan baju yang dikenakannya itu merupakan baju kelas mereka. Pemuda itu•••orang yang sempat disukainya.

Ia ingin menghampirinya. Bertanya bagaimana kabarnya selama ini dan sepertinya itu mustahil untuknya atau malah•••

“kita berkumpul tepat pukul sepuluh. Bersenang-senanglah kalian•••”

•••keberuntungan sedang ada dipihaknya.

Angin langsung membelai rambut Ve saat ia memutuskan keluar dari tempat persembunyiannya. Entah mengapa jantungnya bekerja lebih cepat, ini pertama kalinya setelah tiga tahun tidak bertemu. Ve merasa malu pada dirinya. Seumur hidup, mungkin hari ini ia akan menyapa orang yang sempat singgah dalam hatinya. Tapi sama sekali ia belum memikirkan kalimat apa yang harus diajukan pertama kali.

Ve memejamkan matanya, menghirup udara dan menghembuskannya. Ia harus melakukannya. Sekali seumur hidup. Mengingat jadwalnya begitu padat. Pagi ketemu malam dan begitu pula sebaliknya. Beginilah resiko nya menjadi seorang entertain. Tak pernah mengenal kata lelah. Tapi•••kalau kesempatan ini dilewatinya, ia akan menyesal seumur hidupnya.

Suara ombak semakin jelas terdengar. Bahkan helaan nafas dan detak jantungnya tidak mau kalah melawan gemericik air laut. Sementara ini, Ve tidak peduli dengan kondisi rambutnya yang diterbangkan angin. Ia hanya menatap punggung pemuda itu dan terus berjalan pelan hingga akhirnya Ve berada tepat dibelakang pemuda itu. Sekitar satu meter.

Aroma maskulin menyeruak masuk kedalam indera penciumannya. Bau yang sangat dirindukannya. Hah. Dan inilah yang menyebabkan Ve tidak tenang setiap melihat Evan. Rasanya lama sekali ia tak melihat mantan bintang basket itu.

“ayo katakan•••!” Ve hanya bisa menelan ludah saat hatinya kembali berontak. “katakana perasaanmu!” batinnya semakin gila

Ve mencoba kembali mengingat masa menengah atas. Ketika ia terobsesi membeli kamera hanya untuk mengoleksi foto Evan. Memajangnya didinding kamar dan menatapnya sebelum tidur. Memikirkan itu rasanya memalukan. Terlalu kekanakan. Ternyata jika diperhatikan terjadi perubahan pada sosok itu. Ia lebih terlihat dewasa dan•••tampan. Dengan perasaan campur aduk kedua kakinya bergerak, saat Evan merenggangkan tubuhnya. Aahh! Dia benar-benar tampan. Ingin rasanya membelai wajah itu dan mencium pipinya atau bahkan bib••”

Ve menggelengkan kepalanya kuat, membuang semua pikirn itu.

“Aku•••mencintaimu. Sangat.” Gumamnya dalam hati. Ia membalikkan badannya dan berlari. Tak peduli kemana yang penting ia harus menjauhi Evan. Jujur, Ve sangat membenci dirinya yang pemalu. Benci pada dirinya yang tidak memiliki keberanian dlam berbicara kepada lawan jenis

Merasa sudah cukup jauh, Ve menghentikan laju kakinya. Tangan kanannya menahan tubuhnya pada pohon kelapa. Ia belum pernah membayangkan akan jadi seperti ini. Kenapa ia masih sama seperti dulu? Pemalu. Ve menyandarkan punggungnya ke pohon. Perlahan merosot kebawah. Kedua kakinya hampir tidak merasakan berat tubuhnya. Pandangannya teralihkan saat mendapati sepasang kaki berada didepannya.

“Ve?” terdengar suara berat yang nyaris dilupakannya.

“•••sepertinya kalung ini milikmu, tadi aku sempat melihatmu berlari. Ku kira milik orang lain, saat aku lihat ternyata milikmu.”

Rasanya nyawa Ve terbang saat itu juga.

“kau melamun?”

Buru-buru Ve mengambil kalungnya. “tidak.” Katanya cepat. Ia mencoba mengatur nafasnya. “terima kasih”

Evan sedikit terheran sebelum akhirnya tersenyum lebar. “liontin aku suka. Melambangkan kesucian•••simbol burung putih benar-benar keren!”

“kesucian?” Evan mengangguk.

Tiba-tiba Ve teringat ucapannya saat konser terakhir diteater. “Mencintai tidak harus nyata. Seperti aku. Caraku mencintai dia adalah dengan tidak meghubunginya, tak juga mengiriminya pesan atau menanyakan kabarnya.” Ucapnya di depan ribuan fans. Ia kembali melanjutkan. “mungkin ini tak biasa, tapi beginilah caraku mencintainya. Aku mencintainya dengan menjauh darinya, bukan karena aku membencinya, justru aku mencintainya. Meski berat untukku, namun ini pilihan terbaik agar tidak ada yang saling berharap. Kutitipkan hatinya kepada sang pencipta, biarlah aku mnyapamu lewat senndung doa, agar untukmulah segala kebaikan agar bersamamulah segala kebaikan.” Biarlah Tuhan yang mengaturnya.

Ve menatap Evan lembut. Kalau Evan memang ditakdirkan unuknya, mereka pasti akan dipertemukan kembali. Untuk kali ini Ve tidak ingin mengatakan apapun selain menatap wajah Evan yang damai. Tapi ia berharap hubungan mereka berjalan baik sampai Ve menemukan perasaan yang sesungguhnya.

-The End-


Writer  : Kartiika Eka
Twitter : @_kartiikaeka


Tidak ada komentar: