“•••biarlah ku hanya menyapamu lewat senandung doa,
agar untukmulah segala kebaikan, Agar bersamamulah segala keindahan”
.
.
.
.
“Istirahat sepuluh menit!”
Ve memandang keluar jendela mobil. Kali ini ia
mendapatkan sajian keindahan alam yang hampir tak pernah dilihatnya. Kesibukan
didunia enternain mungkin menjadi faktor utamanya. Deburan pelan ombak menuju
sisi pantai. Matahari bersinar dengan segenap cahayanya juga pepohonan menari
diantara orang tertawa. Seandainya saja waktu istirahatnya selama satu jam,
sudah pasti Ve memilih berendam diair laut, mengejar ombak atau bahkan
mendirikan istana pasir. Daripada hanya duduk didalam mobil sambil memainkan
handphone miliknya. Ia menghela nafas panjang saat hatinya terus mendesak.
Tangan kanannya meraih botol yang berisi teh hangat
untuk membasahi kerongkongan yang mulai kering. Bosan. Mungkin itulah yang
tengah dirasakan gadis yang baru memulai karir didunia entertin. Ia mengalihkan
pandangan kelayar handphonenya saat mendengar suara “game over!”. Gadis
berambut hitam itu langsung mematikan ponselnya.
Ve melirik jam dilengannya. Masih ada tujuh menit
sebelum syuting kembali dimulai. Pandangannya tertuju pada pemuda yang duduk
di tepian pantai, menatap kearah laut. Awalnya Ve tidak mengetahui pemuda yang
menghalangi pandangannya itu, saat ia memperhatikan baju yang dikenakannya ia
mulai sadar. Dia Evan, mantan teman sekelasnya ketika disekolah menengah atas
dan baju yang dikenakannya itu merupakan baju kelas mereka. Pemuda itu•••orang
yang sempat disukainya.
Ia ingin menghampirinya. Bertanya bagaimana kabarnya
selama ini dan sepertinya itu mustahil untuknya atau malah•••
“kita berkumpul tepat pukul sepuluh.
Bersenang-senanglah kalian•••”
•••keberuntungan sedang ada dipihaknya.
Angin langsung membelai rambut Ve saat ia memutuskan
keluar dari tempat persembunyiannya. Entah mengapa jantungnya bekerja lebih
cepat, ini pertama kalinya setelah tiga tahun tidak bertemu. Ve merasa malu
pada dirinya. Seumur hidup, mungkin hari ini ia akan menyapa orang yang sempat
singgah dalam hatinya. Tapi sama sekali ia belum memikirkan kalimat apa yang
harus diajukan pertama kali.
Ve memejamkan matanya, menghirup udara dan
menghembuskannya. Ia harus melakukannya. Sekali seumur hidup. Mengingat
jadwalnya begitu padat. Pagi ketemu malam dan begitu pula sebaliknya. Beginilah
resiko nya menjadi seorang entertain. Tak pernah mengenal kata lelah.
Tapi•••kalau kesempatan ini dilewatinya, ia akan menyesal seumur hidupnya.
Suara ombak semakin jelas terdengar. Bahkan helaan
nafas dan detak jantungnya tidak mau kalah melawan gemericik air laut.
Sementara ini, Ve tidak peduli dengan kondisi rambutnya yang diterbangkan
angin. Ia hanya menatap punggung pemuda itu dan terus berjalan pelan hingga
akhirnya Ve berada tepat dibelakang pemuda itu. Sekitar satu meter.
Aroma maskulin menyeruak masuk kedalam indera
penciumannya. Bau yang sangat dirindukannya. Hah. Dan inilah yang menyebabkan
Ve tidak tenang setiap melihat Evan. Rasanya lama sekali ia tak melihat mantan
bintang basket itu.
“ayo katakan•••!” Ve hanya bisa menelan ludah saat
hatinya kembali berontak. “katakana perasaanmu!” batinnya semakin gila
Ve mencoba kembali mengingat masa menengah atas.
Ketika ia terobsesi membeli kamera hanya untuk mengoleksi foto Evan.
Memajangnya didinding kamar dan menatapnya sebelum tidur. Memikirkan itu
rasanya memalukan. Terlalu kekanakan. Ternyata jika diperhatikan terjadi
perubahan pada sosok itu. Ia lebih terlihat dewasa dan•••tampan. Dengan
perasaan campur aduk kedua kakinya bergerak, saat Evan merenggangkan tubuhnya.
Aahh! Dia benar-benar tampan. Ingin rasanya membelai wajah itu dan mencium
pipinya atau bahkan bib••”
Ve menggelengkan kepalanya kuat, membuang semua pikirn
itu.
“Aku•••mencintaimu. Sangat.” Gumamnya dalam hati. Ia
membalikkan badannya dan berlari. Tak peduli kemana yang penting ia harus
menjauhi Evan. Jujur, Ve sangat membenci dirinya yang pemalu. Benci pada
dirinya yang tidak memiliki keberanian dlam berbicara kepada lawan jenis
Merasa sudah cukup jauh, Ve menghentikan laju kakinya.
Tangan kanannya menahan tubuhnya pada pohon kelapa. Ia belum pernah
membayangkan akan jadi seperti ini. Kenapa ia masih sama seperti dulu? Pemalu.
Ve menyandarkan punggungnya ke pohon. Perlahan merosot kebawah. Kedua kakinya
hampir tidak merasakan berat tubuhnya. Pandangannya teralihkan saat mendapati
sepasang kaki berada didepannya.
“Ve?” terdengar suara berat yang nyaris dilupakannya.
“•••sepertinya kalung ini milikmu, tadi aku sempat melihatmu berlari. Ku kira
milik orang lain, saat aku lihat ternyata milikmu.”
Rasanya nyawa Ve terbang saat itu juga.
“kau melamun?”
Buru-buru Ve mengambil kalungnya. “tidak.” Katanya
cepat. Ia mencoba mengatur nafasnya. “terima kasih”
Evan sedikit terheran sebelum akhirnya tersenyum
lebar. “liontin aku suka. Melambangkan kesucian•••simbol burung putih
benar-benar keren!”
“kesucian?” Evan mengangguk.
Tiba-tiba Ve teringat ucapannya saat konser terakhir
diteater. “Mencintai tidak harus nyata. Seperti aku. Caraku mencintai dia
adalah dengan tidak meghubunginya, tak juga mengiriminya pesan atau menanyakan
kabarnya.” Ucapnya di depan ribuan fans. Ia kembali melanjutkan. “mungkin ini
tak biasa, tapi beginilah caraku mencintainya. Aku mencintainya dengan menjauh
darinya, bukan karena aku membencinya, justru aku mencintainya. Meski berat
untukku, namun ini pilihan terbaik agar tidak ada yang saling berharap.
Kutitipkan hatinya kepada sang pencipta, biarlah aku mnyapamu lewat senndung
doa, agar untukmulah segala kebaikan agar bersamamulah segala kebaikan.” Biarlah Tuhan yang mengaturnya.
Ve menatap Evan lembut. Kalau Evan memang ditakdirkan
unuknya, mereka pasti akan dipertemukan kembali. Untuk kali ini Ve tidak ingin
mengatakan apapun selain menatap wajah Evan yang damai. Tapi ia berharap
hubungan mereka berjalan baik sampai Ve menemukan perasaan yang sesungguhnya.
-The End-
Writer : Kartiika
Eka
Twitter :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar