Senin, 23 Maret 2015

Kinjirareta Futari ( Bagian II )





Sesaat mereka turun dari angkot, cepat langkah kaki mereka ditarik untuk memasuki gerbang sekolah. Seketika itu, puluhan sorotan pasang mata melihat kehadiran mereka yang berjalan beriringan yang tak sadar tangan mereka masih saling berpegangan. Desas desus, bisikan bahkan gunjingan mereka utarakan.

‘Ohh. Itu yang namanya Ve. Cantik sih. Sayangnya dia.. ah, sudahlah’ teriak seorang lelaki yang sedang berdiri bergerombol ditepian lapangan basket. Kata-kata itu memancing Kinal untuk menghampirinya. Namun dengan cepat Ve mencegahnya dengan kuncian di pergelangan tangan Kinal. “Hiraukan saja mereka, Nal”.

“Tapi, Ve?” sanggah Kinal.

“Uhh.. So sweet. Pake pegangan tangan segala lagi. Bos gue aja jarang lu pegang, Ve” olok seorang lainnya lagi. Ve masih sabar, belum juga melepaskan kuncian tangannya. Ve tidak ingin Kinal bermasalah hanya untuk membela dirinya. Sedangkan Kinal, emosinya telah memuncak. Rasanya tangannya mulai merasa gatal untuk menonjok wajah mereka itu. 

“Maaf, Ve” ujarnya kemudian langsung melepaskan kuncian tangan Ve dan menghampiri gerombolan itu. “Kinal...!!! Arrgghh” teriak Ve yang dihiraukan Kinal. Spontan Ve mengikutinya dari belakang.

“Maksud kalian berbicara seperti itu apa? Ha...!!!” sergap Kinal kala berhadapan dengan mereka.

Mereka tak menanggapi namun hal mengejutkan terjadi. Hampir siswa satu sekolahan mengerubungi membuat lingkaran menyaksikan drama remaja yang sebentar lagi akan dilakoni Veranda dan Kinal.

“Nal, sepertinya mereka sengaja ingin mempermalukan kita” ucap Ve mengitari pandangan disekitarnya dimana lebih dari lima puluh pasang mata memandanginya.

‘Prok...Prok...Prok’ seorang bertepuk tangan sembari melangkahkan kakinya, satu sisi lingkaran membelah memberi jalan untuk seseorang itu agar dapat masuk dengan mudah ke arena pusat lingkaran yang mereka buat. “Farish...!!!” ucap Ve dan Kinal bebarengan saat melihat seseorang yang baru datang dan menyatu dengan gerombolan itu. Yah. Farishsi Boss. Diasengaja menjebak Veranda dan Kinal agar menjadi sorotan seluruh penjuru sekolah ini. Dendamnya kemarin benar-benar ingin dia wujudkan.

“Hey, guys.Kalian lihat mereka berdua...!!!” ujarnya menunjuk ke arah Ve dan Kinal.

“Mereka itu bukan cewek normal. Gue kemarin putus dengan cewek gue yang bernama VERANDA karena dia lebih memilih mencintai sahabatnya, KINAL” ungkap Farish secara gamblang menekan dua nama mereka. Sukses Farish mempermalukan Veranda dan Kinal dengan mengumumkan bahwa mereka bukan wanita normal.

“Huuu....!!!” sorakan dari seluruh penjuru sekolah disertai lemparan buntelan kertas mereka timpukan ke arah Veranda dan Kinal.

Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Ini pepatah yang pas untuk Veranda dan Kinal. Benar apa yang dikatakan Farish kemarin, bahwa Kinal salah jika bermasalah dengannya si cowok gila yang super duper nekat. Lantas apa yang bisa mereka perbuat selanjutnya? Mereka pasrah. Berbuat apapun serasa percuma. Ingin membela diri sekalipun juga percuma. Mereka akan lebih mempercayai apa yang Farish katakan tentunya, karena dia anak pemilik saham di sekolah ini. Fakta telah terkuak. Meski belum sepenuhnya benar. Tidak ada yang tau mengapa mereka bisa saling mencintai.

“Stop...!!! tolong berhenti anak-anak...!!” ujar seorang lelaki paruh baya mengenakan seragam PNS menghentikan kelakuan anarkis siswanya. Spontan. Siswa-siswa menghentikan aksi melempar buntelan kertas itu.

“Veranda, Kinal?” seseorang itu mengarahkan matanya ke arah Ve dan Kinal, siswi kebanggaannya.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya kemudian. Namun mereka masih menunduk dan menggelengkan kepalanya. Wajar. Kepsek sadar beliau tidak mungkin menanyakan pertanyaan retoris ini kepada mereka. Begitu jelas di matanya mereka-lah yang saat ini menjadi korban. Kepsek melihat ke arah yang berlawanan dengan Ve dan Kinal. Di situ ada Farish yang masih berdiri paling depan di antara geromobolannya.

“Ini sangat tidak lucu, Farish. Mempermalukan wanita di depan umum. Kamu pria bukan? Ini bukan hal gentel yang seharusnya pria lakukan. Jika kamu memang ada masalah dengan mereka selesaikan dengan baik-baik. Bukan seperti ini” papar Kepsek memberi nasehat.

“Tapi, pak...Mereka itu??” sanggah Farish ingin menguak kembali fakta itu. Namun lidahnya mendadak kaku untuk mengucapkannya.

“Kamu mau bilang aku dan Kinal bukan wanita normal..!!! Iyah aku memang mencintai Kinal namun itu jika harus dibandingkan dengan kamu. Jelas aku akan memilih mencintainya. Bukan pria yang tega berlaku kasar kepada kekasihnya”

Deg. Entah kerasukan super hero apa Ve memiliki kekuatan untuk menentang perkataan Farish. Kinal kaget begitu juga dengan Farish. Karena selama mereka mengenalnya, Ve tidak pernah mengeluarkan uneg-unegnya. Mungkin saat ini Ve sudah tidak kuat membendung apa yang ingin dia ucapkan.

“Maaf. Pak. Pasti Pak Razif sudah tau kalau saya dan Kinal tinggal di satu panti yang sama. Bukan satu dua tahun kita bersama. Tapi belasan tahun kita bersama. Kita dekat. Perasaan saling mencintai bisa saja kita rasakan. Apa kita tetap dicap menjadi wanita yang tidak normal? sedangkan kita mencintai saudara kita sendiri, mencintai sahabat kita, mencintai seseorang yang berharga bagi kita? Itu hal yang sangat wajar bukan? Kita tidak meminta kepada Tuhan untuk memiliki perasaan ini, tapi Tuhan-lah yang memberikannya. Agar kita bisa saling menjaga dan melindungi satu sama lain” Sambung Ve kemudian memberi penjelasan kepada pak Razif tentang maksud perkataan dia ‘mencintai’ Kinal.

“Kalian juga tentunya memiliki adik atau kakak, bukan? Sadar atau tidak kalian mencintai mereka. Apakah itu tidak normal mencintai saudara sedarah? Tolong kalian pikir, ini yang aku rasakan. Kinal sudah aku anggap sebagai  kakakku, wajar jika aku mencintainya” Giliran Ve berucap memandangi tiap pasang mata yang sedari tadi memandanginya. Seolah terhipnotis oleh perkataan Ve semua siswa termenung mencoba mencerna perkataan Ve. Sebagian membenarkan perkataan Ve bahwa itu wajar karena mereka saudara. Jika mungkin itu terjadi pada mereka, sudah pasti rasa cinta itu-pun akan timbul. Sedikit demi sedikit siswa berhamburan kembali ke ruang kelas mereka, hanya tersisa Farish disana. Niat hati ingin mempermalukan tapi malah ia dipermalukan. Kesal namun rasa yang mendominasinya kini adalah rasa bersalah. Benar apa yang dikatakan Veranda, jika dibandingkan dengan pria kasar seperti dirinya semua wanita pun akan lebih memilih untuk mencintai makhluk Tuhan lainnya. Farish mendekat, Lututnya sengaja ia jatuhkan di hadapan Ve dan Kinal, kepalanya menunduk lesu. “Maafkan aku, Ve. Sedikit banyaknya aku berlaku kasar padamu. Ini karena aku terlalu mencintaimu” 

Ve memgang kedua bahu Farish, memintanya untuk berdiri sejajar dengannya. Ve mengangkat dagu Farish, terlihat wajah penyesalannya kini. Matanya sayu, Farish benar-benar meminta maaf padanya. “Aku udah maafin kamu, Rish. Namun aku belum bisa menjalin hubungan kembali dengan kamu” ucap Ve menatap lekat pria di hadapannya. Meski Farish tidak bisa menjalin hubungan kembali tapi permohonan maaf yang diterima olehnya sedikit membuat hatinya lega. “Yuk, Nal. Kita ke kelas. Sebentar lagi, bel masuk” ajak Ve dan Kinal pun menganngguk.

***

Masalah tidak cukup di sekolah saja, sesaat mereka ditarik masuk ke dalam panti lebih tepatnya pada area ruang tamu, mereka dikejutkan oleh sepasang suami-istri berusia sekitar 40-an sedang duduk mengobrol dengan bunda. Awalnya Ve dan Kinal tidah menaruh perasaan curiga terhada mereka. Dipikiran Ve dan Kinal, mereka sebatas orangtua yang ingin mengadopsi adik panti. Nyatanya pikiran Ve dan Kinal salah, meski tidak sepenuhnya salah. Mereka menyebutkan nama ‘Kinal’ sebagai anak mereka. Sontak itu membuat Kinal membungkam mulutnya seolah tak percaya dengan suara yang sengaja masuk ke dalam gendang telinganya. Yah. Dipikiran Kinal, ‘kenapa baru sekarang dia dipertemukan oleh kedua orang tuanya?’ Rasanya ingin bahagia, ingin marah, ingin mencaci, ingin pula memeluk. Semua campur aduk jadi satu dalam hatinya, perasaanya menjadi tidak karuan. Sesak di dalam hati ini. Sungguh ingin dia tumpahkan melalui air matanya. Namun dia tidak ingin jika Ve melihatnya. Dia berlari menjauhi mereka yang berada dalam ruang tamu, entah kemana langkah kaki Kinal tuju. Satu yang pasti saat ini dia butuh ketenangan. Bunda shock, Kinal mengetahuinya sebelum bunda memberi pengertian padanya. Terlambat sudah. Bunda juga melihat ke arah Ve yang masih diam mematung. Ve juga nampak tak percaya dengan apa yang dia dengar. Hanya lewat hitungan hari bahkan jam, Ve harus rela melepaskan Kinal. Sanggup-kah Ve melakukan itu? Sementara sedikit banyaknya dia bergantung pada Kinal yang selalu melindunginya? Bahagia-kah dia jika Tuhan menakdirkan mereka untuk berpisah?

Bunda menghampiri Ve. Merangkulnya guna memberi ketenangan. Bunda bisa merasakan apa yang dirasa oleh Ve. Ini sangat berat untuk berpisah dengan sang sahabat. Sedikit bulir air mata hampir keluar dari muaranya. Namun tetap Ve tahan. Ve harus kuat. Ve harus tegar. Mungkin ini sudah saatnya Kinal bahagia dengan orang tuanya.

Bunda menggiring Ve untuk duduk bersama dengan orang tua Kinal. 

“Pak Hanif, Bu Eva, ini Veranda sahabat Kinal di panti ini” ujar Bunda memperkenalkan Ve di hadapan orang tua Kinal. Ve langsung menyalaminya, “Ve, tante. Ve, om”.

Selanjutnya orang tua Kinal secara bergiliran menceritakan sebab musabab mereka meninggalkan Kinal di panti ini. Jelas alasan utamanya adalah keterbatasan ekonomi dan mereka ingin anaknya tetap hidup meski tanpa orang tua, setidaknya ada jaminan hidup di panti ini. Dan sekarang keadaan telah berbalik, mereka telah memiliki kehidupan yang jauh lebih baik. Jelas mereka berniat ingin mengambil Kinal kembali, guna membahagiakan buah hati mereka yang telah ia terlantarkan belasan tahun lamanya.

“Semoga Ve bisa memberi pengertian ini kepada Kinal” Harap Bu Eva yang memasrahkan semuanya pada Veranda.

Namun Ve belum menanggapinya, di benaknya bagaimana dia bisa memberi pengertian pada Kinal sedangkan untuk memberi pengertian pada dirinya sendiri dia belum tentu bisa. Meski Ve ingin melihat Kinal bahagia dengan orangtuanya sendiri tapi hati kecilnya tidak bisa memungkiri kalau dia butuh Kinal tetap di dekatnya. Karena bahagianya Ve adalah Kinal.

“Bagaimana, nak?” tanya Bunda karena Ve masih juga dalam lamunannya.

Ve menoleh melihat ke arah bundanya, terlihat sekali wajah sembabnya menahan tangis. “Bunda...” Kemudian Ve menggeleng lemah. Bunda mampu menangkap maksud itu, ini sangat berat untuk Ve.

“Maaf” Ve beranjak meninggalkan area ruang tamu menuju kamarnya.

“Mungkin mereka butuh waktu, Bu, Pak” ungkap Bunda memberi pengertian kepada orangtua Kinal.

***

Di dalam kamar, Ve berjalan mondar mandir tak jelas. Dia memikirkan bagaimana caranya dia memberi pengertian kepada Kinal? Apakah dia bisa, sedang dia masih juga memikirkan apakah dia mampu jika hidup tanpa adanya Kinal di dekatnya? Aneh. Sungguh. Di lain sisi Ve ingin melihat Kinal bahagia dengan orangtuanya, namun di sisi sebaliknya dia tetap ingin bahagia bersama Kinal. Jika dia memihak pada sisi sebaliknya, sungguh dia merupakan orang yang egois. Jelas Ve tak menginginkannya. Okeh. Sepertinya Ve sudah mampu mendapatkan pilihan. Baik atau buruk atas konsekuensi yang nantinya dia dapat, siap tidak siap harus ia hadapi. Termasuk berpisah dengan Kinal.

“Aku harus bicarain hal ini ke Kinal” Gumamnya. “Tapi dia dimana?” sejenak Ve berpikir lalu teringat kalau Kinal dan dia suka sekali bermain ayunan di area belakang taman panti. Tanpa aba-aba, Ve menghampirinya.

***

“Kinal” sapa Ve kepada seorang yang duduk di ayunan yang tak bergerak, satu tali yang mengikat ayunan itu sengaja Kinal peluk.

Kinal menoleh ke arah suara itu, lalu bangkit menghampiri Ve kemudian memeluknya. Terlihat bekas air mata pada wajah Kinal. Ve bisa merasakan kepedihannya. Ini kali pertama Kinal menangis meski tidak di hadapannya. Tapi jelas dia menangis.

“Aku nggak mau hidup dengan mereka, Ve. Aku ingin selalu berada di dekatmu, Ve. Karena jujur aku mencintaimu” Spontan Kinal mengakui perasaannya pada Ve, namun itu tidak membuat Ve kaget, karena Ve sudah mengetahuinya. Ve mengeratkan pelukannya. Dia tidak mau melepaskan moment ini begitu saja. Karena bisa jadi ini pelukan terakhirnya bersama Kinal.

“Aku juga mencintaimu, Nal.Tapi sadarlah. Mereka orangtuamu, mereka yang membuat kamu ada di dunia ini dan mempertemukan kita. Hiduplah dengan mereka, berbahagialah”

“Bodoh. Kamu bisa bilang bahagiamu itu aku. Begitu juga denganku. Bahagiaku ya kamu, Ve. Aku ingin terus menjaga dan melindungimu”

“Tapi...” Ve ragu melajutkan kata-katanya

“Tapi kita nggak akan bisa terus bersama, Nal” Sambungnya kemudian.

Deg. Apa maksud perkataan Ve ini? Apa mungkin dia lelah? Atau dia pasrah dengan keadaan yang tidak memungkinkan mereka untuk bersama lagi?

Kinal melepaskan pelukannya dengan kasar. Ve agak sedikit terdorong ke belakang.

“Maksud kamu apa? Ha...!!!” Bentak Kinal.

“Aku rasa sudah sepantasnya kita hidup sendiri-sendiri. Aku nggak ingin terus bergantung padamu”

“Aku nggak masalah jika kamu bergantung padaku” sangkal Kinal.

“Kinal sadarlah. Kita sejenis. Jujur, aku nggak bisa menentang takdir Tuhan. Mungkin jika kita nggak lagi bersama, aku yakin kita bisa mencintai lawan jenis kita”

‘Plak....!!!’

Kinal emosi. Picik sekali Ve berpikiran seperti itu. Kinal memandangi telapak tangannya yang ia gunakan untuk menampar Ve, sedikit air mata menetes. Ada rasa sesal dalam hatinya, sebegitu emosinya dia sampai tega berperilaku kasar menyakiti sang sahabat yang dicintainya.

Sedangkan Ve? Dia hanya menunduk. Dalam batinnya, sakit bekas tamparan Kinal ini tidak sebanding dengan sakit saat Ve harus mengeluarkan argumen yang Kinal anggap itu sebuah kepicikan belaka. “Maaf, Ve” Ucap Kinal memohon. Ve meraih kedua tangan Kinal. Lalu menggenggamnya erat.

“Nggak ada yang perlu dimaafkan. Aku yang salah berpikiran sedangkal itu. Tapi yakinlah, Tuhan memberikan karunia cinta ini pada kita bukan untuk menentang takdir-Nya untuk saling memiliki. Akan tetapi cinta ini tercipta agar kita bisa merasakan kebahagiaan sebuah keluarga. Aku sudah anggap kamu sebagai kakak aku.  Aku harap kamu bisa memenuhi keinginanku. Ini yang terakhir. Pergilah, bahagialah bersama orangtuamu, Nal” Pinta Ve pada Kinal. Tiba-tiba...

Srekkk...Srekkk. langkah kaki terdengar mendekat ke arah Ve dan Kinal.

“Lihatlah, mereka orangtuamu yang ingin kamu tetap hidup dalam keterbatasan yang mereka miliki. Mereka orangtua yang ingin membahagiakan anaknya saat mereka sudah bisa bangkit. Mereka yang ...”

“Cukup, Ve. Aku akan turuti permintaanmu. Tapi, please. Ikutlah denganku, jadilah adikku selamanya. Aku berjanji akan menghapus perasaan ini” ikrar Kinal, Ve hanya tersenyum menanggapinya, meski rasa sesak merasukinya. Bukan hal yang mudah menghapus perasaan yang timbul dengan sendirinya ini, kenyamanan ini? Kedamaian ini? Hanya Kinal yang bisa memberikannya. Jika Kinal akan mengusahakannya, Ve juga harus bisa. Ini yang Ve mau, saling memiliki dalam ikatan kekeluargaan bukan untuk menentang takdir Tuhan. Saat ini, di ruang hati Ve. Nama Kinal terselip bukan untuk menjadi pendamping hidup, akan tetapi menjadi kakak yang akan selalu melindunginya. Selamanya..

Kinal berjalan menggandengan tangan kiri Ve mengarah  menghampiri orang tua Kinal. Tepat di hadapannya, Kinal memeluk mereka secara bergiliran. “Ibu, Ayah” Kinal menangis sejadinya. Hangat sekali pelukannya. Ini pertama kalinya.

“Sini, Nak” Ucap bu Eva kepada Ve yang masih terpaku terharu melihat melodrama orangtua dan anaknya. Bu Eva memeluk Ve, sesenggukan Ve curahkan melalui air matanya, “Tante. Terima kasih untuk pelukannya” Ve memang rindu akan pelukan seorang ibu. “Jangan panggil Tante sayang, Panggillah Ibu. Kamu sudah Ibu anggap sebagai adik Kinal” Ucap Bu Eva, Ve mengulum senyum, terharu ini kebahagian yang dinantinya. Indah jika kita selalu mensyukuri Nikmat-Nya, tidak menentang takdir-Nya, kodrat hawa adalah mencintai adam. Ini hadiah Tuhan pada Ve dan Kinal, mereka tetap bersama dalam ikatan lebih dari persahabatan terlingkup dalam ikatan kekeluargaan. Bagaimanapun mereka akan tetap bisa saling menjaga dan menyayangi. Dimana Orangtua juga akan ikut andil menyayangi keduanya. Indah memang. Karena rencana Tuhan selalu lebih baik dari apa yang kita pikirkan. Berbaik sangkalah pada-Nya, kelak jalan keluar terbaik akan diberikan-Nya.

“Bunda....!!!” ucap mereka berlari lalu memeluk bundanya secara bersamaan.

Ingat Tuhan tidak akan menguji suatu kaum melebihi batas kemampuannya. Jika Tuhan memberi kamu masalah, rintangan bahkan musibah besar sekalipun itu tandanya Tuhan mencintaimu dan Tuhan sudah meyakini kamu mampu melewati semua. Ibarat ujian jika kamu mampu melewatinya, kamu lulus dan memiliki predikat setingkat lebih dari kamu yang sebelumnya. Sabar, ikhlas dan selalu bersyukur itulah kunci kehidupan yang sebenarnya.

-The End-




Writer  : Hanifah Argubie
Twitter : @HanBie_48




Tidak ada komentar: