Sesaat mereka turun dari angkot, cepat
langkah kaki mereka ditarik untuk memasuki gerbang sekolah. Seketika itu, puluhan
sorotan pasang mata melihat kehadiran mereka yang berjalan beriringan yang tak
sadar tangan mereka masih saling berpegangan. Desas desus, bisikan bahkan gunjingan
mereka utarakan.
‘Ohh. Itu yang namanya Ve. Cantik sih. Sayangnya dia.. ah,
sudahlah’ teriak seorang lelaki yang sedang berdiri bergerombol ditepian
lapangan basket. Kata-kata itu memancing Kinal untuk menghampirinya. Namun
dengan cepat Ve mencegahnya dengan kuncian di pergelangan tangan Kinal. “Hiraukan
saja mereka, Nal”.
“Tapi, Ve?” sanggah Kinal.
“Uhh.. So sweet. Pake pegangan tangan
segala lagi. Bos gue aja jarang lu pegang, Ve” olok seorang lainnya lagi. Ve masih
sabar, belum juga melepaskan kuncian tangannya. Ve tidak ingin Kinal bermasalah
hanya untuk membela dirinya. Sedangkan Kinal, emosinya telah memuncak. Rasanya
tangannya mulai merasa gatal untuk menonjok wajah mereka itu.
“Maaf, Ve” ujarnya kemudian langsung
melepaskan kuncian tangan Ve dan menghampiri gerombolan itu. “Kinal...!!!
Arrgghh” teriak Ve yang dihiraukan Kinal. Spontan Ve mengikutinya dari
belakang.
“Maksud kalian berbicara seperti itu
apa? Ha...!!!” sergap Kinal kala berhadapan dengan mereka.
Mereka tak menanggapi namun hal mengejutkan
terjadi. Hampir siswa satu sekolahan mengerubungi membuat lingkaran menyaksikan
drama remaja yang sebentar lagi akan dilakoni Veranda dan Kinal.
“Nal, sepertinya mereka sengaja ingin
mempermalukan kita” ucap Ve mengitari pandangan disekitarnya dimana lebih dari
lima puluh pasang mata memandanginya.
‘Prok...Prok...Prok’ seorang bertepuk
tangan sembari melangkahkan kakinya, satu sisi lingkaran membelah memberi jalan
untuk seseorang itu agar dapat masuk dengan mudah ke arena pusat lingkaran yang
mereka buat. “Farish...!!!” ucap Ve dan Kinal bebarengan saat melihat seseorang
yang baru datang dan menyatu dengan gerombolan itu. Yah. Farishsi Boss. Diasengaja
menjebak Veranda dan Kinal agar menjadi sorotan seluruh penjuru sekolah ini.
Dendamnya kemarin benar-benar ingin dia wujudkan.
“Hey, guys.Kalian lihat mereka
berdua...!!!” ujarnya menunjuk ke arah Ve dan Kinal.
“Mereka itu bukan cewek normal. Gue
kemarin putus dengan cewek gue yang bernama VERANDA karena dia lebih memilih
mencintai sahabatnya, KINAL” ungkap Farish secara gamblang menekan dua nama
mereka. Sukses Farish mempermalukan Veranda dan Kinal dengan mengumumkan bahwa
mereka bukan wanita normal.
“Huuu....!!!” sorakan dari seluruh
penjuru sekolah disertai lemparan buntelan kertas mereka timpukan ke arah
Veranda dan Kinal.
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Ini
pepatah yang pas untuk Veranda dan Kinal. Benar apa yang dikatakan Farish
kemarin, bahwa Kinal salah jika bermasalah dengannya si cowok gila yang super
duper nekat. Lantas apa yang bisa mereka perbuat selanjutnya? Mereka pasrah. Berbuat
apapun serasa percuma. Ingin membela diri sekalipun juga percuma. Mereka akan
lebih mempercayai apa yang Farish katakan tentunya, karena dia anak pemilik
saham di sekolah ini. Fakta telah terkuak. Meski belum sepenuhnya benar. Tidak
ada yang tau mengapa mereka bisa saling mencintai.
“Stop...!!! tolong berhenti anak-anak...!!”
ujar seorang lelaki paruh baya mengenakan seragam PNS menghentikan kelakuan
anarkis siswanya. Spontan. Siswa-siswa menghentikan aksi melempar buntelan
kertas itu.
“Veranda, Kinal?” seseorang itu
mengarahkan matanya ke arah Ve dan Kinal, siswi kebanggaannya.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya
kemudian. Namun mereka masih menunduk dan menggelengkan kepalanya. Wajar.
Kepsek sadar beliau tidak mungkin menanyakan pertanyaan retoris ini kepada
mereka. Begitu jelas di matanya mereka-lah yang saat ini menjadi korban. Kepsek
melihat ke arah yang berlawanan dengan Ve dan Kinal. Di situ ada Farish yang
masih berdiri paling depan di antara geromobolannya.
“Ini sangat tidak lucu, Farish.
Mempermalukan wanita di depan umum. Kamu pria bukan? Ini bukan hal gentel yang
seharusnya pria lakukan. Jika kamu memang ada masalah dengan mereka selesaikan
dengan baik-baik. Bukan seperti ini” papar Kepsek memberi nasehat.
“Tapi, pak...Mereka itu??” sanggah Farish
ingin menguak kembali fakta itu. Namun lidahnya mendadak kaku untuk
mengucapkannya.
“Kamu mau
bilang aku dan Kinal bukan wanita normal..!!! Iyah aku memang mencintai Kinal
namun itu jika harus dibandingkan dengan kamu. Jelas aku akan memilih
mencintainya. Bukan pria yang tega berlaku kasar kepada kekasihnya”
Deg. Entah kerasukan
super hero apa Ve memiliki kekuatan untuk menentang perkataan Farish. Kinal
kaget begitu juga dengan Farish. Karena selama mereka mengenalnya, Ve tidak
pernah mengeluarkan uneg-unegnya. Mungkin saat ini Ve sudah tidak kuat
membendung apa yang ingin dia ucapkan.
“Maaf. Pak. Pasti Pak Razif sudah tau
kalau saya dan Kinal tinggal di satu panti yang sama. Bukan satu dua tahun kita
bersama. Tapi belasan tahun kita bersama. Kita dekat. Perasaan saling mencintai
bisa saja kita rasakan. Apa kita tetap dicap menjadi wanita yang tidak normal?
sedangkan kita mencintai saudara kita sendiri, mencintai sahabat kita,
mencintai seseorang yang berharga bagi kita? Itu hal yang sangat wajar bukan?
Kita tidak meminta kepada Tuhan untuk memiliki perasaan ini, tapi Tuhan-lah
yang memberikannya. Agar kita bisa saling menjaga dan melindungi satu sama lain”
Sambung Ve kemudian memberi penjelasan kepada pak Razif tentang maksud
perkataan dia ‘mencintai’ Kinal.
“Kalian juga
tentunya memiliki adik atau kakak, bukan? Sadar atau tidak kalian mencintai
mereka. Apakah itu tidak normal mencintai saudara sedarah? Tolong kalian pikir,
ini yang aku rasakan. Kinal sudah aku anggap sebagai kakakku, wajar jika aku mencintainya” Giliran
Ve berucap memandangi tiap pasang mata yang sedari tadi memandanginya. Seolah terhipnotis
oleh perkataan Ve semua siswa termenung mencoba mencerna perkataan Ve. Sebagian
membenarkan perkataan Ve bahwa itu wajar karena mereka saudara. Jika mungkin
itu terjadi pada mereka, sudah pasti rasa cinta itu-pun akan timbul. Sedikit
demi sedikit siswa berhamburan kembali ke ruang kelas mereka, hanya tersisa
Farish disana. Niat hati ingin mempermalukan tapi malah ia dipermalukan. Kesal
namun rasa yang mendominasinya kini adalah rasa bersalah. Benar apa yang
dikatakan Veranda, jika dibandingkan dengan pria kasar seperti dirinya semua
wanita pun akan lebih memilih untuk mencintai makhluk Tuhan lainnya. Farish
mendekat, Lututnya sengaja ia jatuhkan di hadapan Ve dan Kinal, kepalanya
menunduk lesu. “Maafkan aku, Ve. Sedikit banyaknya aku berlaku kasar padamu.
Ini karena aku terlalu mencintaimu”
Ve memgang
kedua bahu Farish, memintanya untuk berdiri sejajar dengannya. Ve mengangkat
dagu Farish, terlihat wajah penyesalannya kini. Matanya sayu, Farish
benar-benar meminta maaf padanya. “Aku udah maafin kamu, Rish. Namun aku belum
bisa menjalin hubungan kembali dengan kamu” ucap Ve menatap lekat pria
di hadapannya. Meski Farish tidak bisa menjalin hubungan kembali tapi permohonan
maaf yang diterima olehnya sedikit membuat hatinya lega. “Yuk, Nal. Kita ke
kelas. Sebentar lagi, bel masuk” ajak Ve dan Kinal pun menganngguk.
***
Masalah tidak cukup di sekolah saja, sesaat mereka ditarik masuk
ke dalam panti lebih tepatnya pada area ruang tamu, mereka dikejutkan oleh
sepasang suami-istri berusia sekitar 40-an sedang duduk mengobrol dengan bunda.
Awalnya Ve dan Kinal tidah menaruh perasaan curiga terhada mereka. Dipikiran Ve
dan Kinal, mereka sebatas orangtua yang ingin mengadopsi adik panti. Nyatanya
pikiran Ve dan Kinal salah, meski tidak sepenuhnya salah. Mereka menyebutkan
nama ‘Kinal’ sebagai anak mereka. Sontak itu membuat Kinal membungkam mulutnya seolah
tak percaya dengan suara yang sengaja masuk ke dalam gendang telinganya. Yah.
Dipikiran Kinal, ‘kenapa baru sekarang dia dipertemukan oleh kedua orang
tuanya?’ Rasanya ingin bahagia, ingin marah, ingin mencaci, ingin pula memeluk.
Semua campur aduk jadi satu dalam hatinya, perasaanya menjadi tidak karuan. Sesak
di dalam hati ini. Sungguh ingin dia tumpahkan melalui air matanya. Namun dia
tidak ingin jika Ve melihatnya. Dia berlari menjauhi mereka yang berada dalam
ruang tamu, entah kemana langkah kaki Kinal tuju. Satu yang pasti saat ini
dia butuh ketenangan. Bunda shock, Kinal mengetahuinya sebelum bunda memberi
pengertian padanya. Terlambat sudah. Bunda juga melihat ke arah Ve yang masih
diam mematung. Ve juga nampak tak percaya dengan apa yang dia dengar. Hanya
lewat hitungan hari bahkan jam, Ve harus rela melepaskan Kinal. Sanggup-kah Ve
melakukan itu? Sementara sedikit banyaknya dia bergantung pada Kinal yang
selalu melindunginya? Bahagia-kah dia jika Tuhan menakdirkan mereka untuk
berpisah?
Bunda menghampiri Ve. Merangkulnya guna memberi ketenangan.
Bunda bisa merasakan apa yang dirasa oleh Ve. Ini sangat berat untuk berpisah
dengan sang sahabat. Sedikit bulir air mata hampir keluar dari muaranya. Namun
tetap Ve tahan. Ve harus kuat. Ve harus tegar. Mungkin ini sudah saatnya Kinal bahagia
dengan orang tuanya.
Bunda menggiring Ve untuk duduk bersama dengan orang tua
Kinal.
“Pak Hanif, Bu Eva, ini Veranda sahabat Kinal di panti ini”
ujar Bunda memperkenalkan Ve di hadapan orang tua Kinal. Ve langsung
menyalaminya, “Ve, tante. Ve, om”.
Selanjutnya orang tua Kinal secara bergiliran menceritakan
sebab musabab mereka meninggalkan Kinal di panti ini. Jelas alasan utamanya
adalah keterbatasan ekonomi dan mereka ingin anaknya tetap hidup meski tanpa
orang tua, setidaknya ada jaminan hidup di panti ini. Dan sekarang keadaan
telah berbalik, mereka telah memiliki kehidupan yang jauh lebih baik. Jelas
mereka berniat ingin mengambil Kinal kembali, guna membahagiakan buah hati
mereka yang telah ia terlantarkan belasan tahun lamanya.
“Semoga Ve bisa memberi pengertian ini kepada Kinal” Harap
Bu Eva yang memasrahkan semuanya pada Veranda.
Namun Ve belum menanggapinya, di benaknya bagaimana dia bisa
memberi pengertian pada Kinal sedangkan untuk memberi pengertian pada dirinya
sendiri dia belum tentu bisa. Meski Ve ingin melihat Kinal bahagia dengan
orangtuanya sendiri tapi hati kecilnya tidak bisa memungkiri kalau dia butuh
Kinal tetap di dekatnya. Karena bahagianya Ve adalah Kinal.
“Bagaimana, nak?” tanya Bunda karena Ve masih juga dalam
lamunannya.
Ve menoleh melihat ke arah bundanya, terlihat sekali wajah
sembabnya menahan tangis. “Bunda...” Kemudian Ve menggeleng lemah. Bunda mampu
menangkap maksud itu, ini sangat berat untuk Ve.
“Maaf” Ve beranjak meninggalkan area ruang tamu menuju
kamarnya.
“Mungkin mereka butuh waktu, Bu, Pak” ungkap Bunda memberi
pengertian kepada orangtua Kinal.
***
Di dalam kamar, Ve berjalan mondar mandir tak jelas. Dia memikirkan
bagaimana caranya dia memberi pengertian kepada Kinal? Apakah dia bisa, sedang
dia masih juga memikirkan apakah dia mampu jika hidup tanpa adanya Kinal
di dekatnya? Aneh. Sungguh. Di lain sisi Ve ingin melihat Kinal bahagia dengan
orangtuanya, namun di sisi sebaliknya dia tetap ingin bahagia bersama Kinal.
Jika dia memihak pada sisi sebaliknya, sungguh dia merupakan orang yang egois. Jelas
Ve tak menginginkannya. Okeh. Sepertinya Ve sudah mampu mendapatkan pilihan.
Baik atau buruk atas konsekuensi yang nantinya dia dapat, siap tidak siap harus
ia hadapi. Termasuk berpisah dengan Kinal.
“Aku harus bicarain hal ini ke Kinal” Gumamnya. “Tapi dia
dimana?” sejenak Ve berpikir lalu teringat kalau Kinal dan dia suka sekali
bermain ayunan di area belakang taman panti. Tanpa aba-aba, Ve menghampirinya.
***
“Kinal” sapa Ve kepada seorang yang duduk di ayunan yang tak
bergerak, satu tali yang mengikat ayunan itu sengaja Kinal peluk.
Kinal menoleh ke arah suara itu, lalu bangkit menghampiri Ve
kemudian memeluknya. Terlihat bekas air mata pada wajah Kinal. Ve bisa
merasakan kepedihannya. Ini kali pertama Kinal menangis meski tidak
di hadapannya. Tapi jelas dia menangis.
“Aku nggak mau hidup dengan mereka, Ve. Aku ingin selalu berada
di dekatmu, Ve. Karena jujur aku mencintaimu” Spontan Kinal mengakui perasaannya
pada Ve, namun itu tidak membuat Ve kaget, karena Ve sudah mengetahuinya. Ve
mengeratkan pelukannya. Dia tidak mau melepaskan moment ini begitu saja. Karena
bisa jadi ini pelukan terakhirnya bersama Kinal.
“Aku juga mencintaimu, Nal.Tapi sadarlah. Mereka
orangtuamu, mereka yang membuat kamu ada di dunia ini dan mempertemukan kita.
Hiduplah dengan mereka, berbahagialah”
“Bodoh. Kamu bisa bilang bahagiamu itu aku. Begitu juga
denganku. Bahagiaku ya kamu, Ve. Aku ingin terus menjaga dan melindungimu”
“Tapi...” Ve ragu melajutkan kata-katanya
“Tapi kita nggak akan bisa terus bersama, Nal” Sambungnya kemudian.
Deg. Apa maksud perkataan Ve ini? Apa mungkin dia lelah? Atau
dia pasrah dengan keadaan yang tidak memungkinkan mereka untuk bersama lagi?
Kinal melepaskan pelukannya dengan kasar. Ve agak sedikit
terdorong ke belakang.
“Maksud kamu apa? Ha...!!!” Bentak Kinal.
“Aku rasa sudah sepantasnya kita hidup sendiri-sendiri. Aku
nggak ingin terus bergantung padamu”
“Aku nggak masalah jika kamu bergantung padaku” sangkal
Kinal.
“Kinal sadarlah. Kita sejenis. Jujur, aku nggak bisa menentang
takdir Tuhan. Mungkin jika kita nggak lagi bersama, aku yakin kita bisa
mencintai lawan jenis kita”
‘Plak....!!!’
Kinal emosi. Picik sekali Ve berpikiran seperti itu. Kinal
memandangi telapak tangannya yang ia gunakan untuk menampar Ve, sedikit air mata
menetes. Ada rasa sesal dalam hatinya, sebegitu emosinya dia sampai tega
berperilaku kasar menyakiti sang sahabat yang dicintainya.
Sedangkan Ve? Dia hanya menunduk. Dalam batinnya, sakit
bekas tamparan Kinal ini tidak sebanding dengan sakit saat Ve harus
mengeluarkan argumen yang Kinal anggap itu sebuah kepicikan belaka. “Maaf, Ve”
Ucap Kinal memohon. Ve meraih kedua tangan Kinal. Lalu menggenggamnya erat.
“Nggak ada yang perlu dimaafkan. Aku yang salah berpikiran
sedangkal itu. Tapi yakinlah, Tuhan memberikan karunia cinta ini pada kita
bukan untuk menentang takdir-Nya untuk saling memiliki. Akan tetapi cinta ini tercipta
agar kita bisa merasakan kebahagiaan sebuah keluarga. Aku sudah anggap kamu
sebagai kakak aku. Aku harap kamu bisa
memenuhi keinginanku. Ini yang terakhir. Pergilah, bahagialah bersama
orangtuamu, Nal” Pinta Ve pada Kinal. Tiba-tiba...
Srekkk...Srekkk. langkah kaki terdengar mendekat ke arah Ve
dan Kinal.
“Lihatlah, mereka orangtuamu yang ingin kamu tetap hidup
dalam keterbatasan yang mereka miliki. Mereka orangtua yang ingin membahagiakan
anaknya saat mereka sudah bisa bangkit. Mereka yang ...”
“Cukup, Ve. Aku akan turuti permintaanmu. Tapi, please. Ikutlah denganku, jadilah adikku
selamanya. Aku berjanji akan menghapus perasaan ini” ikrar Kinal, Ve hanya
tersenyum menanggapinya, meski rasa sesak merasukinya. Bukan hal yang mudah
menghapus perasaan yang timbul dengan sendirinya ini, kenyamanan ini? Kedamaian
ini? Hanya Kinal yang bisa memberikannya. Jika Kinal akan mengusahakannya, Ve
juga harus bisa. Ini yang Ve mau, saling memiliki dalam ikatan kekeluargaan
bukan untuk menentang takdir Tuhan. Saat ini, di ruang hati Ve. Nama Kinal
terselip bukan untuk menjadi pendamping hidup, akan tetapi menjadi kakak yang
akan selalu melindunginya. Selamanya..
Kinal berjalan menggandengan tangan kiri Ve mengarah menghampiri orang tua Kinal. Tepat
di hadapannya, Kinal memeluk mereka secara bergiliran. “Ibu, Ayah” Kinal
menangis sejadinya. Hangat sekali pelukannya. Ini pertama kalinya.
“Sini, Nak” Ucap bu Eva kepada Ve yang masih terpaku terharu
melihat melodrama orangtua dan anaknya. Bu Eva memeluk Ve, sesenggukan Ve
curahkan melalui air matanya, “Tante. Terima kasih untuk pelukannya” Ve memang
rindu akan pelukan seorang ibu. “Jangan panggil Tante sayang, Panggillah Ibu. Kamu
sudah Ibu anggap sebagai adik Kinal” Ucap Bu Eva, Ve mengulum senyum, terharu
ini kebahagian yang dinantinya. Indah jika kita selalu mensyukuri Nikmat-Nya, tidak
menentang takdir-Nya, kodrat hawa adalah mencintai adam. Ini hadiah Tuhan pada
Ve dan Kinal, mereka tetap bersama dalam ikatan lebih dari persahabatan
terlingkup dalam ikatan kekeluargaan. Bagaimanapun mereka akan tetap bisa
saling menjaga dan menyayangi. Dimana Orangtua juga akan ikut andil menyayangi
keduanya. Indah memang. Karena rencana Tuhan selalu lebih baik dari apa yang
kita pikirkan. Berbaik sangkalah pada-Nya, kelak jalan keluar terbaik akan
diberikan-Nya.
“Bunda....!!!” ucap mereka berlari lalu memeluk bundanya
secara bersamaan.
Ingat Tuhan tidak akan menguji suatu kaum melebihi batas
kemampuannya. Jika Tuhan memberi kamu masalah, rintangan bahkan musibah besar
sekalipun itu tandanya Tuhan mencintaimu dan Tuhan sudah meyakini kamu mampu
melewati semua. Ibarat ujian jika kamu mampu melewatinya, kamu lulus dan
memiliki predikat setingkat lebih dari kamu yang sebelumnya. Sabar, ikhlas dan
selalu bersyukur itulah kunci kehidupan yang sebenarnya.
-The End-