Jumat, 24 April 2015

Three Angels ( Part 3 )



 

(Melody POV)

"Mel, hey.....". Bisik Rona menyikut lenganku.

"Eh, iya...?!". Sontak aku terkejut.

"Ehm..... baiklah, untuk meeting kali ini kita akhiri. Semoga project kita bisa sukses!". Ujar pak Agung, lalu beliau berlalu pergi.

"Ih, Mel....kamu kok jadi melamun sih setelah kembali dari toilet?". Tanya Rona.

Kini tinggal kami berdua yg masih duduk di tempat semula.

"Gimana, ada masalah ya sama Dion".

"Huft, iya.... tadi dia langsung marah2". Ku hembuskan nafas lemas.

"Hah! Terus2....dia ngomong apa aja?". Heboh Rona.

"Dia......ah, udahlah pulang aja yuk. Udah sore nih, aku capek". Kilahku.

Sepertinya Rona kecewa karena rasa penasarannya masih ngegantung, biarlah.
Saat menuju parkiran.

"Hai Mel...".

"Eh, haiii....". Balasku dengan senyum canggung.

"Aku duluan ya....".

Dia berlalu menuju ke mobil avanza merahnya, bersama seorang gadis. Mungkin itu sekretarisnya.

"Siapa Mel?". Tanya Rona.

"Dia...... eh, kenapa?". Tanyaku balik.

"Gak papa sih, sejak kapan kamu kenal dengan cewek yang......".

"Apa!!". Potongku cepat.

"Diiih, apa sih sewot mulu. Aku suka aja lihat penampilannya, cool".

"Hah? Apa?!".

"Iya...dia cool abis tau Mel. Gadis dengan rambut sebahu, berbadan tegap"
"Hmmm dari penampilannya, pasti tajir deh. Tomboy sih, tapi.........ca
kep gila!!". Komentar Rona.

"Iya sih, dia cakep dan keren...eh?!". Cepat2, aku langsung menyembunyikan raut kekagumanku.

"Emang dia itu siapa sih, Mel?"

"Dia....emm...dia.... salah satu narasumber novelku".

"Hah! Jad....jadi....".
#@#

"Mamaaaaaa......!!!!".

Gadis itu teriak, hingga terduduk. Nafasnya tersengal2. Keringat membanjiri kening dan sekujur tubuhnya. Terisak, sembari memeluk lutut. Mimpi itu lagi. Sebuah mimpi yg sama. Selalu membayangi tidur malamnya.

Yah, kejadian buruk itu menjelma menjadi mimpi. Peristiwa yg tidak di inginkan, tetapi tak pernah bisa lepas dari ingatannya.

"Sayang, kamu kenapa nak? Mimpi buruk lagi?!". Cemas sang mama setelah masuk ke dalam kamar, mendapati sang anak berwajah pucat dan di banjiri peluh. Di peluknya tubuh itu.

"Maafin mama sayang. Mama menyesal......".

"Kenapa mimpi itu selalu datang, Ma?! Rasanya aku ingin mati saja!". Isaknya.

"Sayang, jangan ngomong begitu". Air mata mama menetes.

"Udah 15 tahun, Ma! Tapi mimpi itu selalu datang!!!".

"Maaf sayang, kalau saja waktu itu mama gak ke Belanda. Mungkin semua itu tak akan terjadi. Mama gak bisa jagain kamu, maaf. Maafkan mama....". Isakan mama ikut mengeras.

"Aku benci dia!". Lirih gadis itu, hampir tak terdengar.

"Lupakan sayang, kamu harus bisa ngelupain". Ujar mama membelai rambut anaknya lembut.

Mimpi yg sama, selama 15tahun silam. Mimpi yg memotret secara nyata. Seperti tak membiarkannya bebas, mengikatnya, memenjarakan dan memasungnya dalam sumur gelap tak berdasar. Mimpi itu menjadi pupuk penyubur dukanya. Yups, gadis itu adalah 'Gold Angel' alias Ve.

‪#‎Kisah_Veranda‬#

Hari yg panas, langit berwarna biru bersih dan di tiap sisi2 langit itu, nyempil potongan awan2 kecil.

Di jalanan, mobil2 merayap pelan. Tak jarang lengkingan suara klakson yg saling bersahutan. Ini adalah hari sabtu, jam 1 siang. Weekend ini yg membuat hampir seluruh makhluk bumi tertumpah di jalan raya, menuju takdir dan tujuan masing2.

Di sebuah mall, di pusat kota Jakarta. Andy sang pemilik sebuah event organizer berjalan mondar-mandir. Satu jam lagi akan di adakan perhelatan akbar. Sebuah acara yg di selenggarakan atas kerjasama beberapa perusahaan fashion dan kecantikan di berbagai bidang.

"Mana Veranda?". Ucap Fahmi sang make up artist, terlihat panik.

"Apa? Dia belum datang?!". Andy mendelik, terkejut.

"Coba tanya Andre, managernya".

"Eh iya, si Andre juga belum kelihatan".

Cepat2 Andy mengambil hp dari saku celananya.

"Halo, Andre. Veranda mana? Acara satu jam lagi loh?". Suara Andy dengan logat kemayu.
"Aku gak mau tau, pokoknya yeiy cari dia. Acara fashion show itu acara puncak!!"
"Eike gak mau gagal cuma gara2 seorang modelmu yg gak nongol!". Andy mengomel gemas.

Pandangan Andy di edarkan ke seisi atrium mall. Berbagai stand sudah berdiri dengan anggun dan mewah. Dengan karpet merah yg menjulur 10meter. Para model2 cantik akan melenggang untuk memperagakan pakaian dari berbagai butik terkenal.

"Kak Andy". Suara Fahmi agak takut2.

"Apa?!".

"Veranda masih lama gak datengnya? Tanganku dah gatel nih mau merias".

"Oh gitu, masih mending yeiy yg gatel tangannya! Kalo eike mulut yg gatel pengen maki2 orang!!"
"Sana pergi! Jangan buat eike tambah kesal!!".

Setelah Fahmi berlalu, Andy menuju toilet. Di hisapnya batang rokok kuat2.

"Aduuuuh, pusing deh eike kalo begindang!". Kesal Andy menghentakkan kaki kanannya.
*
*
Seorang gadis cantik baru saja keluar dari mobil sedan hitam miliknya. Dengan santai, kakinya melangkah memasuki mall dan menuju ke sebuah lift. Semua pasang mata yg berada di lift memandangnya kagum. Ada yg mencuri pandang, melirik bahkan ada yg menatap tanpa berkedip sambil menelan ludah susah. Karena melihat seorang bidadari masuk lift. grin emotikon

*Ting*. Bunyi pintu lift terbuka.

Andre, sang manager sudah berada di atrium mall yg tampak rame. Dia berdiri di salah satu sudut. Terlihat seorang gadis dengan langkah gemulai menghampirinya.

"Ah, Veranda....akhirnya kamu datang juga. Andy sudah rewel banget nungguin kamu".

Beberapa saat mereka ngobrol, laki2 kemayu datang menghampiri.

"Ya ampun..... Veranda. Yeiy bikin pusing eike aja deh!!".
"Fahmi!!!!". Teriak Andy dengan kerasnya.

Yg di panggil lari tergopoh2, dengan gaya yg tak kalah kemayunya.

"Dandani Veranda sekarang. Acara bentar lagi mulai, cepat!!".

"Iya...iya....tapi gak pake teriak2 juga dong ciiiiin".

Veranda tersenyum. Pemandangan seperti itu sudah tak asing baginya.

"Veranda, nanti habis fashion show jangan langsung pulang. Ada casting film yg di angkat dari sebuah novel. Kamu harus ikut". Pesan Andre sebelum Ve menuju ruang make up.

"Oke!". Jawab Ve mantap.
***

Tempat itu adalah galeri lukisan yg di sulap menjadi tempat casting dadakan. Beberapa kamera di tempatkan di berbagai sudut ruangan. Sebuah layar 32 inci di letakkan di atas meja. Di belakangnya ada 3 orang yg duduk, mata mereka tak lepas dari layar. Dan di belakang kamera paling besar, berdiri seseorang berpakaian serba hitam.

"Kamu pasti bisa". Bisik Andre.

Ve tersenyum simpul. Dia berdiri di tengah2 ruangan dengan kamera yg menyorot di berbagai sudut.

"Oke! Kamu harus beracting jadi wanita yg di tinggal suaminya". Instruksi dari kameramen.

"Satu...dua...action!!".

"Mas, kenapa kamu tinggalin aku sendiri? Kamu sudah janji akan hidup sampai tua nanti. Bahagia bersama anak2 kita kelak. Tapi sekarang? Mana janjimu, mas bohong!!". Veranda sesenggukan. Tubuhnya terhenyak ke lantai dengan mata sayunya begitu dramatis.

"Cut!! Oke!".

Tiba2 ada seseorang yg menghampiri Veranda.

"Aku mau, kamu acting satu peran lagi. Jadi wanita kaya yg sombong". Pintanya.

Ve yg masih terduduk, mendongakkan kepala. Terpana, suara orang di hadapannya itu sangat merdu dan lembut. Rambut pendeknya sempat membuat Ve menyangka dia laki2, tapi ternyata dia adalah seorang perempuan. Perempuan tampan.

Ve beracting sesuai instrusi dari orang tersebut. Setelah selesai orang tadi menghampiri.

"Oke, tahap pertama kamu lolos. Besok kembali ke sini jam 3 sore. Untuk lanjut ke tahap berikutnya".

Perempuan tampan itu menjabat tangan Ve, tanpa sadar muncul semburat rona merah di kedua pipi chubbynya*duh.
*****

"Dion, tunggu dong". Ku jejeri langkah Dion yg cepat di areal parkir sebuah restoran.
"Aku dah capek2 nyusul kemari, malah di tinggalin gitu aja!". Protesku.

Dion berhenti dan berbalik ke arahku.

"Siapa yg minta kamu nyusul kemari?! Bukan aku kan!!". Sinisnya.

"Ya....aku inisiatif sendiri. Oh ya tadi aku ke kantormu, tapi mereka bilang kamu disini"
"Kamu kenapa sih yank, gak bisa di hubungi akhir2 ini". Ku coba membela diri.

"Udah deh gak usah sok manis. Janji lunch sama mama aja kamu lupa. Kenapa sekarang justru nyamperin aku di saat yg gak tepat!". Ujar Dion begitu menohok.

"Apa maksudnya di saat yg gak tepat?"
"Oh aku tau..... saat kamu lagi seneng2 dengan cewek2 tadi, iya!!". Aku mendengus marah.

"Mereka cuma teman2ku, gak usah cari2 kesalahanku deh!!". Dion tak mau kalah.

Aku tau Dion marah, karena kedatanganku yg tiba2 mengganggu acara makan siangnya bersama gadis2 cantik dan seksi di restoran itu. Tapi aku jauh lebih marah! Melihat itu semua di depan mataku! Sakitnya tuh di sini?*nunjuk hidung author yg pesek*eh?

"Yank, please....aku cuma ingin minta maaf"
"Aku harap kita bahas masalah ini dengan masalah kepala dingin, kita bukan anak kecil lagi. Bersikaplah dewasa". Aku mencoba mengalah.

"Gak ada gunanya lagi! Mama sudah terlanjur marah dan nge-judge kamu jelek!".

"Gak ada yg gak bisa di perbaiki, kan?".ku sentuh lengan Dion lembut yg terlipat di depan dadanya.

"Mungkin gak sekarang, Melody!". Ucapnya tanpa melihat mataku.

Aku terkejut, hingga menarik tanganku dari lengannya.

"Aku tau aku salah, tapi kalo kamu maafin aku. Kita berdua pasti bisa luluhin hati mama kamu". Aku membujuk lagi.
"Maaf, kemari itu karena aku gak bisa ninggalin meeting penting tentang novelku".

"Hah! Aku sudah muak dengan kata2 novel! Penulis! Karir! Aku muak!!". Ucapnya begitu kasar dan melenggang pergi, masuk kembali ke dalam restoran.

Aku terdiam, mematung. Dion meninggalkanku sendiri dengan keterkejutan yg siap merobek jantungku.

Terik matahari seakan menertawakanku. Ku angkat kepalaku tinggi2, menengadah menantang langit. Tak pedulikan terik yg menampar wajahku keras. Ada sesuatu yg mulai luruh dari pelupuk mataku, harus aku cegah.

Semakin keras aku menggigit bibirku, semakin cepat air itu mendesak ingin keluar. Bahuku mulai berguncang. Awalnya pelan, semakin lama semakin kencang.

Pandanganku mulai pudar, tiba2 sepasang tangan menarik tubuhku. Saat ku buka mata, aku sudah berada di dalam pelukannya. Beberapa menit sudah, aku masih berada di pelukannya. Aku semakin menangis sesenggukan. Menumpahkan semua rasa sakit dan kekecewaan. Membuncah keluar melalui air mata kesedihan yg tak tersampaikan*temodemo no namida*(lagu favorit author*plakk!kok malaha curcol?lanjut!!)

"Ma...maaf". Ucapku melepas pelukannya.

"Tak apa. Kalo masih ingin menangis. Menangislah". Ujarnya dengan senyuman. Kemudian di sodorkan sebuah sapu tangan.

"Thank's". Lalu sapu tangan itu langsung ku usap di kedua mata dan piiku yg basah.
"Aku malu banget, bertemu kembali tapi dalam keadaan seperti ini"
"Jelek banget ya, aku". Aku berusaha bercanda.

"Udahlah, justru ketika seorang perempuan menangis, itu adalah puncak aura yg makin memperlihatkan kecantikannya".

Kata2nya selalu membuatku terpesona. Aku menatapnya lembut. Tanpa sadar aku menyunggingkan senyum kelegaan.

"Cowok tadi, pacar kamu?".

Aku hanya mengangguk lesu.

"Hmmm.... sekarang, mau kemana? Pulang kah?".

"Emmm Nal, kamu sibuk gak? Mau nemenin aku?". Pintaku yg tanpa malu2 menggenggam kedua tangannya. Kinal hanya menganggung dengan senyum menawan.
*****

Veranda menyeka wajahnya dengan tisu basah. Hari ini dia melakukan tugasnya dengan baik. Casting tahap akhirnya berjalan mulus, semulus......*plakk author mulai gila*abaikan.

"Veranda!!". Sebuah teriakan menghentikan langkahnya yg berjalan menuju tempat parkir.

Ve menoleh, ternyata Andre sang manager melambaikan tangan. Mengisyaratkan untuk menunggunya. Sepertinya dia masih ada urusan mendadak.

Ve memutuskan unyuk duduk, menunggu di jok sebuah motor yg menarik baginya. Motor itu berwarna campuran merah, hitam dan biru. Ve asik mengamati. Unik, penuh dengan modifikasi. Motor harley yg gagah, terparkir di bawah pohon beringin yg rindang(selalu deh, author belum bisa move on dari pohon beringin*ck!)

Tepat di atas lampu motor itu terdapat stiker bertuliskan 'GF'. Tiba2 seseorang berjalan mendekati Ve.

"Excuse me". Sapanya lembut.

Ve menoleh, ternyata si perempuan tampan.

"Yes!". Jawab Ve sedikit cuek.

"Dari tadi ku perhatikan, kamu asik banget ngelihatin motor ini. Unik ya?". Ucapnya yg memperlihatkan gigi gingsulnya.

"Yups, kayaknya yg punya motor ini pasti berselera tinggi, gak norak". Komentar Ve dengan angkuhnya.

"Thank's".

Ve mengerutkan kening.

"Apa sekarang yg punya motor ini boleh mwngambil alih?". Ada godaan di nada suaranya.

"Maksudnya?". Ve makin tak mengerti.

"Pemilik motor yg kamu bilang unik dan punya selera tinggi itu, ada di hadapan kamu"
"Sekarang, apa aku boleh mengambil alih motorku?".

Ve terlonjak, cepat2 dia berdiri dari jok motor itu. Menggeser tubuhnya ke samping.

"Sorry". Ucap Ve kikuk.

Tawa renyah dari si perempuan tampan langsung membahana di areal parkir.

"It's oke. Thank's dah suka sama motorku". Ucapnya dengan menge-wink ke arah Ve yg makin salah tingkah.

"Ghaida Farisya, biasa di panggil Ghaida". Dia menjulurkan tangan kanannya.

"Jessica Veranda Tanumihardja. Panggil aku, Ve". Dengan membalas uluran tangan itu.
"Oh, jadi tulisan 'GF' itu singkatan dari namamu?".

"Yuhuuu, bener banget"
"Oh ya, selamat sudah lolos casting". Ucap Ghaida lalu menoleh kiri-kanan, memastikan tidak ada yg mendengar pembicaraan mereka.
"Asal tau aja, dari ratusan peserta casting, aku merasa kamu yg paling cocok untuk jadi peran utamanya".

Ve mengerutkan keningnya, lagi.
"Sebenarnya siapa Ghaida ini?". Pikirnya.
***

"Aku suka yg ini". Ghaida menunjuk sebuah foto.

Di atas meja, bertebaran foto2 para peserta casting yg lolos audisi kemarin.

"Kenapa kamu memilih dia?". Tanya Hery sang sutradara.

"Selain actingnya bagus, karakter wajahnya aku suka. Cocok banget sama tokoh di dalam novel".

Hery mengamati foto yg di tujuk Ghaida. Gadis cantik dan menarik. Bibir mungil, hidung mancunh serta mata yg teduh. Tiap orang yg memandang foto itu seakan terhipnotis. Terbawa merasakan keteduhan dari sorot matanya.

"Tapi yg ini juga cantik?". Dimas, sang kameramen berkomentar menunjuk foto lain.

"Memang, tapi wajahnya arab banget"
"Dia bisa dapat peran lain. Untuk peran utamanya, gadis ini yg lebih pantes!". Ghaida memegang foto di tangannya dengan penuh kemenangan.

"Siapa namanya?". Tanya Hery.
***

"Suka sama peran yg kamu dapat?". Tanya Ghaida.

"Suka dong. Peran utama gitu loh?". Ve tak bisa menyembunyikan rona bahagia di wajahnya.

"Benerkan aku bilang, kamu emang paling cocok untuk peran utama ini".

"Kebetulan kali". Ucap Ve dengan senyum meremehkan.

Ghaida tersenyum menanggapinya. Lalu melanjutkan membagi beberapa lembar kertas berisi nama2 yg lolos audisi dan peran masing2 ke yg lainnya.

"Baiklah semua, tolong perhatiannya sebentar". Hery bersuara.

Para peserta mulai duduk di kursi lipat membentuk lingkaran.

"Oke, semua sudah tau perannya masing2 dan telah di bagikan skrip. Kalian bisa pelajari di rumah"
"Minggu depan, kita bertemu di tempat ini jam 3 sore untuk shooting"
"Oh ya satu lagi, saya perkenalkan penulis novel yg menjadi film kita. Dia adalah Ghaida Farisya". Ujar sang sutradara menunjuk ke arah Ghaida.

Ghaida langsung berdiri, membungkukkan badan. Ve langsung melongo, dan salah tingkah ketika Ghaida menoleh ke arahnya dan mengerling penuh arti.
 
 
To be Continued
 
Writer  : Dwi Nurmala
Twitter : @dwinurmala4351



 

Tidak ada komentar: