Kamis, 07 Mei 2015

Three Angels ( Part 4 )



( Melody POV )

Hampir saja aku menyerah dalam melanjutkan novelku. Tapi dia, berhasil membuatku bangkit dari keterpurukan yg di torehkan oleh kekasihku sendiri. Dia, salah satu narasumber yg malah belum aku tulis kisah masa lalunya dalam novelku. Hmmm.... mungkin nanti. Tanya saja sama author(?).

Aku duduk di teras samping rumah. Menghadap taman bunga2 yg indah. Tapi aku tak bisa menikmati keindahan itu. Berkali2 aku hembuskan nafas, saat ini aku butuh ketenangan. Tapi deadline novelku telah menanti untuk segera aku tepati.

Dua hari lalu, aku janjian ketemu dengan 'Queen Angel' narasumber terakhirku. Aku bingung bagaimana mengawali adegan untuk kisahnya. Haah...kenapa aku jadi seperti ini? Apa mungkin karena perkataan Dion waktu lalu, aku jadi menyerah? Ah, tidak! Aku gak boleh nyerah dengan impianku.

"Kenapa, sayang?". Tiba2 papa duduk di sampingku.
"Mikirin apa? Kok kayak orang linglung gitu?".

"Hmmm...bingung
, Pa. Ini soal novel".

"Pelan2 saja mikirnya". Senyum papa.
"Oh ya, besok Papa sama Mama mau ke pernikahan Rangga, anak dari om Daniel. Mau ikut?".

"Gak deh Pa, aku di rumah saja". Aku menolak malas.
"Hmmm akhirnya, nikah juga si ganteng". Aku terkekeh, mengingat raut wajah gantengnya, tapi culun.

"Kamu sih, nolak waktu itu. Kalo gak kan kalian yg besok menikah". Goda Papa.

"Yeee... Papa ih, kalo gak cinta mau gimana lagi?".

"Lah, kamu milih Dion dan nolak Rangga. Tapi, gak taunya.......".

"Maaf Pa, putrimu ini gagal milih pasangan". Potongku sambil menunduk.

Papa mengusap lembut rambutku.
"Semua akan indah pada waktunya, sayang. Nanti, kamu pasti akan ketemu seseorang yg tepat buatmu".

Aku langsung memeluknya, air mata ini mengalir dengan lancar merembeti pipiku, saat aku teringat Dion dan Mamanya.

‪#‎Flashback_On‬

Rumah mewah bertingkat yg nampak asri itu terlihat sepi. Pepohonan di samping rumahnya tertiup angin yg berhembus. Menerbangkan daun2 kering yg berguguran. Setelah merapikan penampilan, mengumpulkan tenaga, menghela nafas panjang dan membaca mantra*eh doa. Aku mulai keluar dari mobil jazz putihku. Aku menekan bel di samping pintu depanku. Jantungku makin bergemuruh kencang. Hingga gemeteran. Sungguh?

"Permisi, apa Dion ada di rumah?". Tanyaku sopan pada seseorang yg membukakan pintu.

"Oh, ada non. Monggo silahkan masuk. Duduk dulu, saya panggilkan den Dion". Ucap wanita tua yg berlalu ke dalam.

Aku duduk di sofa empuk berwarna coklat. Aku masih memainkan jemari2ku yg nampak tak tenang. Begitu resah dan gelisah.

"Mau ngapain kesini?!". Ucap Dion yg sempat mengagetkan.

Ucapannya begitu dingin. Dia mengenakan kaos dan celana pendek hitam. Rambutnya nampak berantakan. Dia beralih ke tempat duduk di sebelahku, tapi agak jauhan.

"Mau ketemu kamu, sayank". Ucapku yg langsung menggeser duduk mendekatinya.

"Buat apa?!". Jawabnya acuh.

Aku sempat tertegun dengan nada bicaranya. Tanpa di duga....

"Oh, ada tamu". Seorang wanita paruh baya menghampiri kami dan langsung duduk di sebelah Dion dengan santainya.

Wajahnya gak jauh beda dengan Dion, dingin. Tak ada senyuman di raut wajah mereka. Membuatku semakin tegang.

"Ma, ini Melody". Ucapan Dion yg nampak enggan untuk memperkenalkanku.

"Siang tante, aku Melody". Ucapku agak takut, tapi berusaha tetap senyum. Aku berdiri mengulurkan tangan dengan sopan.

"Hmm".

Tapi hanya deheman yg menyambutku, tanpa ada balasan uluran tangan. Aku semakin gugup dengan suasana seperti ini.

"Oh, ini toh Melody. Yg buat kita nunggu berjam2 cuma untuk makan siang. Udah capek2 nunggu, tapi gak datang!". Nadanya tegas dengan seringai menakutkan dan tanpa menatap ke arahku.

"Ma...maaf tante, saya minta maaf atas kejadian tempo hari. Karena kecerobohan saya dan ada acara meeting penting. Saya jadi lupa ngabari Dion". Jelasku.

"Janji aja gak bisa tepat! Gimana mau ngurusin kamu?".

Tanpa memperdulikan ucapanku, Mama Dion berucap. Lagi, tanpa memandang ke arahku. Au melirik Dion, tapi dia acuh. Sama sekali tak berusaha membelaku. Akhirnya, aku hanya diam menunduk pasrah.

"Mama kan udah bilang, cari perempuan itu yg siap ngurusin kamu dan anak2 kelak. Gak usah yg bekerja. Selain gak bisa bagi waktu. Wanita karir itu cenderung sombong"
"Apalagi kalo lebih sukses nanti. Bakal lupa dengan kodratnya sebagai perempuan!".

Aku langsung mendongak, banyak sekali yg ingin aku protes dari ucapannya.
Kalian tau? Makhluk apa yg paling menyeramkan di bumi ini, selain para setan dan dedemit?! Yah, makhluk hidup yg bernama 'calon mertua'. Tolong di catet!!.

"Iya, Ma". Santai Dion.

Mataku melotot maksimal. Telingaku gak salah denger kan? Barusan Dion bilang 'iya, Ma'. Berarti dia menyetujui ucapan mamanya?! Itu berarti dia...? Lalu, selama 2 tahun pacaran. Apa arti semua itu?!.

Aku menatap Dion dengan tajam, hingga kedua mataku terasa panas dan berkaca2. Tapi apa? Dion tak merespon tatapanku, dia malah menatap ke sudut lain. Begitu acuh. Seolah aku tak dianggap sedari tadi (play 'kekasih tak dianggap' by pinkan mambu)

Oke fine!! Kesabaranku sudah habis! Aku pergi dari rumah ini! Juga dari hidup mereka. Bye!!
Bodo amat kalopun image ku semakin jelek di mata Mamanya Dion. Aku tak peduli! Tanpa bicara sepatah kata pun, aku berdiri dan melangkah keluar. Ku tutup pintu di belakangku. Masih sempat ku dengar ucapan mamanya.

"Lihat Dion, dasar perempuan gak tau diri!". Umpatnya.

Telinga dan hatiku benar2 panas. Aku sempat berharap Dion untuk mengejarku. Tapi itu adalah harapan yg sangat tolol. Tak lama, aku langsung berlari menuju mobil dengan iringan air mata yg tak terhenti.

‪#‎Flashback_Off‬
.
.
Aku sudah tak peduli lagi tentang Dion dan Mamanya. Kini, aku harus fokus dengan tugasku untuk merampungkan deadline yg tinggal 2 bulan lagi.

Sebenarnya, aku masih penasaran dengan 'Gold Angel' yg hanya bisa di wawancarai by email. Huuft...tapi mungkin dia belum siap untuk bertemu langsung denganku. Tapi aku bertekad suatu hari nanti aku harus bisa bertemu dengannya. Harus! Aku percaya, usaha keras itu tak akan menghianati.

Oh ya, kalo soal 'Queen Angel'. Hmm....aku sempat heran. Dari dulu yg ada di pikiranku tentang para "lesbian" adalah sosok makhluk yg menyeramkan. Tapi.... aku salah. Saat aku ketemu dengan narasumber terakhirku. Dia gadis yg manis. Meski awalnya cuek. Tapi dia punya senyuman yang..........

‪#‎Kisah‬ Queen Angel#

Terdengar suara2 desahan dari kamar sebelah. Kadang suara itu di selingi dengan cekikikan suara wanita yg begitu manja di tambah suara pria yg mengeluarkan kata2 mesranya.

Gadis itu menyalakan tv di kamarnya dengan volume tertinggi. Lalu ngumpet di bawah selimut. Sama sekali tak ada niatan untuk menonton acara tv tersebut. Karena itu hanya alasan agar tak mendengar suara2 di kamar sebelah yg menyisakan luka perih begitu dalam di hatinya.

Sebenarnya yg membuat gadis itu merasa jijik bukan aktivitas di kamar tersebut. Tapi pelakunya.
.
.
Vienny, nama gadis itu. Saat berumur 23 tahun. Dia memperkenalkan kekasih hatinya kepada sang mama. Mama Vienny adalah seorang janda yg di tinggal suaminya, saat Vienny masih duduk di bangku SMP. Tak di sangka, kejadian itu justru awal kehancurannya.

Seminggu setelah perkenalan itu. Galang, kekasihnya. Tiba2 meminta putus. Alasannya, karena usia yg terpaut jauh yaitu 12 tahun dan Vienny yg masih terlihat seperti anak kecil. Padahal, saat menjalani hubungan selama 1 tahun terakhir, tak pernah Galang mempermasalahkan itu semua. Entah kenapa bisa berubah secepat itu?

Kemudian, segala tanda tanya besar terjawab sudah. Galang memutuskan hubungan dengan Vienny demi mendapatkan seorang wanita berusia 48 tahun tapi masih terlihat cantik. Seorang janda kaya yg mempunyai satu anak. Yups, dia adalah mamanya Vienny. Mereka menikah 3 bulan kemudian.

Siapa yg salah? Galang yg tergiur dengan harta kekayaan dan wanita dewasa yg masih tampak menarik? Atau Mamanya yg tidak punya hati, merebut kekasih anaknya sendiri? Atau justru Vienny?? (kayaknya yg salah authornya deh...*ngaku...wkwkwk)

Akhirnya, Vienny memutuskan untuk menyalahkan diri sendiri karena kalah saing dengan sang Mama yg mempunyai body sexy dan berpenampilan modis. Walau usianya hampir setengah abad, tapi kulitnya masih kencang, rambut terurai panjang dengan tubuh yg selalu dirawat.
Berbeda dengan Vienny yg tampak sangat amat sederhana dalam hal berpenampilan.

Dua tahun berlalu, Vienny mulai merubah penampilannya. Tapi, karena rasa malas yg sering muncul. Penampilannya kadang berubah2. Sedikit cuek. kadang sewaktu2 bisa bergaya feminin. Makin lama Vienny memutuskan untuk berpenampilan tomboy dan feminin sekaligus. Sebagai jadi dirinya.
*******

Vienny berdiri di depan pagar sebuah rumah mewah bertingkat 2. Halaman yg luas dengan hiasan taman, air mancur dan pepohonan rindang. Tampak begitu asri dan sejuk.

Kalo bukan karena melihat papan nama mencolok bertuliskan HAI Magazine di dekat pagar itu. Vienny past tak menduga rumah mewah itu adalah sebuah kantor majalah. Setelah masuk ke dalam kantor tersebut, Vienny berjalan menuju resepsionist.

"Ada yg bisa di bantu, mbak?". Sapa perempuan manis yg usianya mungkin hampir sama dengan Vienny.

"Oh iya, saya Vienny. Mau wawancara hari ini".

"Oh silahkan duduk dulu, mbak". Kemudian perempuan itu mengambil beberapa lembar kertas dari lacinya dan menghampiri Vienny.

"Silahkan isi formulirnya. Mbak Yona sebentar lagi tiba".

Lalu Vienny mengerjakan tugasnya. Setelah 10 menit formulir itu di serahkan ke resepsionist tadi. Vienny sempat melirik name tag resepsionist itu bernama Hanifah Nofel Argubie. Nama yg unik, pikir Vienny.

Tak berapa lama pintu terbuka. Seorang perempuan bertubuh mungil, rambut sebahu dan berkulit putih memasuki kantor. Dengan santai, tangannya memeluk beberapa majalah dan aerphone terpasang manis di kedua telinganya.

Hani langsung menghampirinya.
"Mbak, Yona. Ini Vienny yg akan wawancara". Katanya sopan.

Yona melepas aerphone. Memiringkan kepala sejenak. Mengisyaratkan agar Hani mengulangi kata2nya. Mendengar nama Yona, Vienny langsung memperbaiki posisi duduknya.

"Ini Vienny yg akan wawancara, mbak". Hani mengulangi.

Yona menoleh ke arah Vienny.
"Oh, 5 menit lagi kamu keruangan saya".

Vienny hanya mengangguk sopan dengan senyum.

"Mbak Yona baik loh, gak usah tegang". Komentar Hani.

Vienny tersenyum, walau masih terlihat raut kegugupannya.
Dalam 5 menit penantiannya, sejenak Vienny melirik penampilannya. Kemeja abu2 lengan panjang di padukan celana katun abu2 gelap, terkesan formal. Vienny tampak menyesal dengan penampilan yg di kenakannya. Hampir semua pegawai yg di lihatnya di kantor ini. Berpenampilan modis, santai dan fashionable.

"Silahkan duduk". Yona menunjuk kursi di depan mejanya.

Vienny duduk, lalu diam. Karena Yona masih sibuk dengan iphonenya.

"Ehem...saya sudah baca cv kamu. Ternyata sudah lumayan punya pengalaman di media". Yona menatap Vienny dalam, sebuah tatapan yg menaklukan.

"Saya sudah 2 tahun bekerja di media, mbak. Sejak lulus kuliyah". Jawab Vienny.

"Oke, boleh saya tahu kenapa kamu meninggalkan media yg lama?".

"Sebelumnya saya bekerja di surat kabar. Saya melamar ke majalah, karena saya menganggap bahasa dalam penulisannya lebih menarik daripada surat kabar. Saya ingin mengeksplor dan mengembangkan kemampuan saya". Penjelasan Vienny begitu tenang dan selalu menampilkan senyuman.

"Kenapa milih HAI Magazine?".

"Karena majalah HAI Magazine adalah majalah lifestyle terbaik di Jakarta".
*******
.
.
Bola mata Rona membelalak, mulutnya menganga lebar.

"Biasa aja kali, gak usah lebay!". Sewotku.

"Serius, Mel? Kok bisa putus?".

"Aku dah kecewa sama Dion! Pokoknya gak akan ada istilah balikan lagi, TITIK!!". Tegasku.

"Iya kalo Dion memang minta balikan. Dari cerita kamu, kayaknya dia benar2 udah gak mau sama kamu lagi deh".

Aku nyengir, komentar Rona begitu telak. Yah, gimana mau balikan? Dion sama sekali tak menunjukkan ke arah itu.

"Tapi kamu gak nyesel kan dengan keputusanmu?". Cemas Rona.

"Kamu tau kan, gimana besarnya impianku jadi seorang penulis? Saat aku bisa mewujudkan melalui perjuangan yg gak mudah. Masa iya aku harus ngelepasinnya demi Dion?".

Rona menatapku dengan penuh tanya.

"Huuuft, bukannya mau egois. Tapi aku juga berhak milih yg terbaik buatku".

"Sabar ya, Mel". Rona langsung memelukku untuk memberikan ketenangan dan *cups* dia mendaratkan kecupan di pipi kananku.

"Udah ah, bahas Dion mulu. Jadi bete kan?! Tambah laper! Makan yuk?!".
********

Meja itu berbentuk persegi panjang. Terbuat dari kaca tebal dengan besi kokoh yg menopang. Ada 10 orang yg duduk mengelilinginya, dengan Yona di kepala meja.

"Baik, mulai sekarang Vienny akan bergabung bersama kita di HAI Magazine sebagai reporter"
"Vienny, kamu siap berjuang untuk memajukan HAI Magazine?!". Ujar Yona ke arah Vienny.

"Siap!!". Balas Vienny begitu bersemangat.

Lalu Yona memperkenalkan Vienny kepala karyawan2nya. Selain redaksi, terdapat juga marketing, distribusi, finance dan Hani sebagai resepsionist merangkap administrasi.

"Vienny, kamu bisa bertanya apapun yg ingin kamu ketahui mengenai HAI Magazine. Kepada Ema sebagai managing editor di redaksi. Atau kalau perlu bisa kepada saya langsung, silahkan". Ujar Yona dengan senyum menawan.

Setelah membahas beberapa hal, meeting itu pun berakhir. Vienny sudah siap untuk menuju ruangan redaksi, saat seorang perempuan tinggi, seksi, berambut lurus sepunggung menghampirinya.

"Kamu, androgini ya? Cakep". Bisiknya.

"Maaf?!". Vienny mengerutkan alisnya, karena tak tahu harus bereaksi seperti apa.

Sempat, Vienny sedikit gugup dan canggung dengan panggilan itu.

"Santai aja, gak usah nervous gitu. Oh ya, namaku Shania". Perempuan itu mendekati Vienny dan duduk di sebelahnya, memperkenalkan diri.

"Aku Vienny". Sambil menjabat tangan dengan senyum kecut.

"Udah tahu. Kamu androgini kan? Cakep deh". Ulang Shania dengan senyum khasnya.

Vienny menegang. Darimana Shania tahu istilah itu? Istilah label dalam dunia lesbian. Hal yg akrab dengan Vienny selama 2 tahun terakhir.

"Maaf, tapi aku bukan androgini". Elak Vienny.

Shania mengangkat bahu cuek.
"Oh ya, kamu gantiib posisiku di redaksi. Aku mau ngelanjutin S2, jadi terpaksa resign. Hmm... sebenarnya aku betah di sini. Tapi mau gimana lagi. Jam kerja padat, gak memungkinkan sambil kuliyah kan". Curhat Shania tanpa di minta.

"Oh jadi aku gantiin posisi mbak toh?".

"Eh, jangan panggil mbak. Umur kamu berapa sih?"

"25 tahun". Santai Vienny.

"Iiih, aku kan masih 23 tahun". Shania cemberut.

"Oh maaf". Vienny nyengir.

"Shania!". Kepala Yona menyembul dari balik pintu ruangannya.

"Vienny, aku mau ke ruangan si boss dulu. Oh ya minta no. Hp atau pin bbmnya dong". Pinta Shania tanpa malu2.

Setelah permintaan itu terpenuhi, Shania mendekat ke arah Vienny. Begitu dekat di sebelah telinga kanannya.

"Makasih ya, androgini. *cups*. kiss emotikon

Shania mengeluarkan senyuman mautnya, kemudian berjalan dengan santai menuju ruangan Yona.

Untuk beberapa detik, Vienny terpaku. Bingung dan kaget dengan tindakan Shania barusan. Tanpa sadar Vienny bergumam "Gadis yg agresif pasti menarik".

Eh, tapi kenapa Shania bisa tau tentang label itu? Apa iya aku lesbian? Vienny bergumam lagi.

Sejak mamanya menikah dengan kekasihnya, Galang. Vienny tak pernah dekat dengan pria manapun. Lebih tepatnya menghindar. Vienny lebih nyaman bergaul dengan perempuan.

Tapi, benarkah aku lesbian? Batin Vienny selalu bertanya2.

Ini bukan kali pertamanya Vienny bertanya2 mengenai orientasi seksualnya. Sudah 2 tahun, dia bergumul dengan dirinya sendiri. Semakin tak mengerti dengan perasaanya.

Vienny nyaman bergaul dengan perempuan akibat trauma dengan pria. Tapi, Vienny juga tak terima jika dirinya di sebut lesbian? Dia masih menyimpan mimpi. Kelak bisa membina rumah tangga dengan seorang pria baik hati.

Di tengah kebingungan itu jugalah. Vienny membuat akun twitter, di mana dia bisa bergaul dengan para lesbian. Dia ingin mengetahui lebih dalam tentang dirinya. Apakah ada orang lain di luar sana yg memiliki kebingungan seperti dirinya??


To be Continued


Writer  : Dwi Nurmala
Twitter : @dwinurmala4351
 
 
 

Tidak ada komentar: