‘Di
sini senang, di sana senang, dimana-mana hatiku senang’
Sorak sorai lima anak manusia terdengar dari
dalam mobil Honda Brio. Tanjakan, tikungan tajam ataupun turunan curam dilewati
tanpa ada firasat buruk sekali-pun. Yang ada kini hanya kegembiraan setelah
empat bulan lebih lamanya disibukkan setumpuk tugas kuliah, organisasi dan diakhiri
dengan UAS yang seminggu lalu telah usai. Kini saatnya merayakan liburan
semesteran, berusaha melepas kepenatan hidup di kota. Dan satu tempat yang di
tuju adalah Puncak, berpesta barbeque.
Wah, membayangkannya saja akan menjadi liburan yang menyenangkan kalau saja ...
‘Duggg’
Ponsel milik Melody si pengendara mobil terjatuh. Sekilas ia meliriknya,
ponselnya sangat susah untuk digapainya.
“Ve, tolong ambilin Hp gue gih” Pintanya
pada cewek yang duduk di sebelah kemudinya, nyatanya dihiraukan begitu saja
oleh cewek bernama ‘Ve’ itu.
“Ve” Melody sedikit menoleh ke arahnya.
Ve masih asyik memakukan pandangannya ke depan dengan ear phone yang terpasang apik di kedua daun telinganya. “Pantas aja
dia nggak denger” gumamnya yang kemudian mengambil ponsel itu sendiri. Merogoh-rogoh
ke bawah dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya masih diusahakannya
untuk mengendalikan setir mobil. Susah rupanya. Nekad, mata Melody mengikuti
gerakan tangan kirinya. Di tengok-tengok dan ...
“Awas, Mel...!!!” teriak Ve, Melody
tersadar dan langsung mengangkat pandangan matanya. Dihadapan mereka terlihat sosok
manusia berjubah hitam dengan tudung yang menutupi hampir sebagian wajahnya dan
tangan kanan yang menggenggam sebuah garpu setinggi dua meter, layaknya
malaikat maut. Melody kalut, diinjak rem mobil itu berkali-kali namun tak
kunjung berhenti. Sementara sosok itu semakin dekat dengan mobilnya dan akan
tertabrak. Tanpa pikir panjang Melody membanting setir ke arah kiri. Melody
hilang kendali dan menabrak pembatas jalan. Tak disangka jalanan sebelah kiri
itu merupakan jalanan menurun yang sangat curam dengan banyak pepohonan besar
menjulang tinggi.
‘AAAAA..!!!’ teriak seisi mobil itu.
Dug.
Mobil sukses terhenti karena menabrak
sebuah pohon dengan kencangnya, membuat seisi mobil terdorong kedepan tak
terkecuali si pengemudi yang lupa menggunakan sabuk pengaman, kepalanya
membentur setir mobil dengan keras.
.
.
Lama waktu berselang, belum ada
tanda-tanda seorang diantara mereka yang sadar. Sampai jemari lentik milik
seseorang bernama ‘Ve’ melakukan sedikit gerakan.
‘Auwhh’
Rintihnya memegangi pelipisnya. Berdarah. Matanya sedikit terbuka. Apa yang
sebenarnya terjadi pada dirinya? Ve masih setengah sadar, menata memorinya
mengingat kejadian sebelumnya. Hanya sosok berjubah hitam yang memenuhi
otaknya. Mungkinkah itu sosok malaikat pencabut nyawa?
‘Arrggghh’
Kepalanya makin pusing akan pikiran-pikiran yang tidak logis. Di tengoknya ke
arah kanan.
“Astaga, Mel” teriaknya membungkam
mulutnya rapat-rapat. Kepala Melody bersimbah darah. Tak tega Ve melihat
keadaan temannya seperti itu. “Mel, sadar. Mel” ucapnya menggoncangkan tubuh
mungil Melody. Namun tak juga sadar. Ve memberanikan diri membuka kelopak mata
Melody. Putih, hanya sedikit lensa hitam yang masih terlihat. Dirabanya urat
nadi bagian leher tepat di bawah daun telinga mendekat ke arah dagu. Tak ada denyutan
nadi yang terasa. “Astaga Mel” Masih diiringi perasaan terkejut, Ve menoleh ke
arah belakang untuk memastikan ketiga teman lainnya yang duduk di shaf belakang tidak bernasib sama seperti
Melody yang telah kehilangan nyawanya.
Tak lama. Satu. Dua. Tiga. Ghaida, Kinal
dan Shania secara berurutan mulai tersadar. Sama seperti Ve, mereka juga
menanyakan apa yang sebenarnya terjadi?
.
.
Dilentangkannya tubuh Melody dalam
pembaringannya, dan tak lupa Ghaida menutup wajah Melody dengan sapu tangannya.
Karena bagi mereka itu sangat mengerikan
jika tetap dibiarkan terbuka. Lalu, mereka berdiri mengelilingi mayat Melody
diiringi tangisan dari Shania. “Mel, kenapa lu harus pergi dengan cara yang
tragis seperti ini?” Ditengoknya Ve yang masih berdiri menggigit ujung
jemarinya, nampak sekali ketakutannya. ‘Kalau saja teriakannya tidak
mengangetkan Melody’ Tatapannya tajam tak bersahabat.
Tiba-Tiba Shania mendekat ke arahnya dan
...
‘Brruugghhh’
Shania mendorong Ve sampai dia terjungkal ke belakang.
“Lu...!!! Lu penyebab Melody mati,
Ve...!!!” Bentaknya kemudian, sambil menganggkat kerah baju Ve dan siap
melangsungkan pukulan ke wajahnya. Mata Ve hanya bisa terpejam. Siap tak siap
pipi mulusnya akan didaratkan sebuah pukulan. Ve sadar, ini salahnya. Andai
tadi dia tidak teriak mengagetkan Melody semua akan baik-baik saja, tidak
terjebak dalam kedaan seperti ini.
“Shan...!!!” Sayang aksi Shania dapat
dihentikan oleh Kinal yang dengan sigap menepis pukulan Shania yang hampir
mengenai wajah Ve, lalu menghempaskannya jatuh ke tanah.
“Disituasi genting seperti ini, lu masih
bisa menyalahkan orang. Dimana otak lu? Ha...!!!” Shania hanya bisa terdiam
atas pembelaan Kinal untuk Ve.
.
.
Kinal membantu Ve untuk berdiri, “Lu
nggak kenapa-kenapa kan?” tanyanya dan Ve hanya mengangguk. “Lu nggak perlu
takut, bukan lu yang salah. Semua takdir, Ve” ucapnya sembari memberi
rangkulannya.
“Makasih, Nal” tanggapnya dalam senyuman
yang Ve tunjukkan, tak disangka menyisakan sesak luka di hati sepasang mata
yang melihat scene yang dilakoni oleh
Ve dan Kinal. Dia jeoleus.
‘Kenapa dia yang selalu jadi
pahlawannya, Ve...!! Arrggghh’ Geramnya sambil mengeratkan genggaman tangannya
lalu sekuat tenaga dipukulkan ke arah
pohon sebagai pelampiasan emosinya.
.
.
Langit semakin senja, rasa lelah suntuk
menghantui mereka. Bantuan juga belum datang. Kendala signal-lah yang menyulitkan
mereka untuk mencari bantuan.
Shania
hanya bisa duduk memeluk lututnya merasakan hawa dingin yang mulai
merasuki tulang belulangnya. Disini, di dataran tinggi ini, semakin malam maka
hawa akan semakin dingin. Shania menggosok-gosok kedua tangannya, lalu ia
tempelkan ke beberapa bagian tubuhnya guna memberikan kehangatan.
Sedang Ghaida, dia mengasah-asah pisau
kecilnya yang sedari tadi ia gunakan untuk membuat ukiran tulisan pada sebuah
pohon dan tak jauh dalam keadaan yang berhadapan dengannya, ada Kinal dan Ve
yang duduk dengan punggung yang menyender pada pohon besar. Rasa lelah, membuat
Ve memejamkan matanya sehingga tak sadar dia tertidur dibahu Kinal. Makin
membuat seseorang yang melihatnya geram dan makin cemburu.
.
.
“Nal, gue pengin ngomong berdua sama lu”
Pinta Ghaida saat dirinya telah berdiri di hadapan Kinal.
“Ngomong disini aja, Ghai” Tolak Kinal.
“Ve, masih tidur. Gue nggak mau kita
ganggu tidurnya. Jadi sebaiknya kita agak menjauh dari sini” Usul Ghaida yang
membuat Kinal menoleh kesebelahnya dan benar Ve tertidur.
“Okeh” dengan hati-hati Kinal mengangkat
kepala Ve yang menyender dengan nyamannya di bahu Kinal.
.
.
Ghaida dan Kinal berjalan menjauh dari
arena kecelakaan itu. Sebelumnya Shania melihat gelagat aneh dari keduanya, terbesit
pikiran negatif ‘apa mungkin aku ( Shania ) dan Ve akan ditinggal berdua
ditempat ini?’ Akhirnya Shania memutuskan untuk mengekor di belakang Ghaida dan
Kinal dengan cara mengendap-endap.
Ghaida berhenti sejenak, sambil menoleh
ke kanan dan ke kiri memastikan tidak ada yang mendengar ataupun mengintip perbincangannya
pada Kinal.
“Disini aja, Nal”
“Lu mau ngomong apa sebenarnya?” sergap
Kinal tanpa basa-basi.
“Ve, cantik ya, Nal” Kinal hanya
mengangguk menyetujui apa yang Ghaida utarakan.
“Kalau dia cantik emangnya kenapa?”
tanya Kinal kemudian.
Ghaida mengambil sebilah pisaunya dari
saku belakang celananya. Lalu, ia dekatkan pada wajah Kinal, memutar-mutarkanya
seperti bermain-main dengan benda tajam ditangan kanannya.
“Gue uda lama memperhatikan dia. Dan gue
rasa gue cinta dengannya” ungkapnya yang membuat Kinal terkejut.
“Jujur gue nggak suka lu sok jadi
pahlawan di depannya. Dan gue harap lu bisa jauhin dia” Imbuhnya kemudian.
“Sorry, Ghai. Gue nggak bisa ngejauhin
dia, karena bagaimanapun dia sahabat gue. Dan gue akan selalu menjaganya dari
cewek gila nggak normal kayak lu” Tolak Kinal mentah-mentah yang langsung
menghantamkan pukulan tepat pada wajah Ghaida sampai ia terjatuh.
“Lu...!!” sambil menyeka darah yang
terlanjur keluar di sudut bibirnya, Ghaida kembali bangkit. Dengan pisau yang
masih ia genggam erat, ia layangkan ke arah perut Kinal. Dan ...
‘Jleb...’
Kinal terlambat menghindar, darah segar mengucur deras dari dalam perutnya.
Tanpa belas kasih Ghaida menarik kembali pisau yang telah menancap itu. Kinal
meraung kesakitan.
“Ghaid....” rasanya ingin menyerang Ghaida
kembali, namun kondisinya sudah tidak dapat ia tahan, membuatnya ambrug
ditempat.
.
.
‘Srrrrkkkk’
di balik pohon besar Shania melihat semuanya. Melihat pembunuhan di hadapannya,
tangannya gemetaran membuatnya bereaksi untuk kabur dari pandangan Ghiada. Takut
jika selanjutnya dia yang akan menjadi korban aksi psikopatnya Ghaida.
Ghaida mendengar, secepat kilat ia
menoleh. Matanya bak elang pemburu mangsa. Dia. Shania melihatnya. Dengan
gesit, Ghaida mengejarnya.
‘Hap’
Ghaida menarik rambut panjang Shania. Membuat langkah kaki Shania terhenti,
menoleh berhadapan dengan Ghaida.
‘Auuwhhhh’
“Ghai, gue nggak ada urusan sama lu.
Tolong jangan bunuh gue” Rengek Shania.
Sambil menjilat darah Kinal yang telah
ia bunuh, lalu ia putar-putarkan. Lagi-lagi dia bermain dengan pisau.
“Lu ngelihat gue bunuh Kinal kan? Dan
pastinya lu juga denger kalau gue suka ama Ve kan?”
“Nggak, gue nggak lihat dan gue juga
nggak dengar”dusta Shania yang membuat Ghaida emosi menampar Shania.
“Bohong, lu...!!!” Shania terjatuh memegangi pipinya yang
melebam, tangisannya pun pecah.
“Gue bisa lu jamin nggak akan bocorin
apa yang gue liat dan gue denger, Ghai. Please jangan bunuh gue, gue masih
ingin hidup...!!” dalam ketakutannya Shania masih memohon-mohon pada Ghaida
agar tidak membunuhnya. Namun bukannya Ghaida luluh, Ghaida malah menampar
Shania untuk kedua kalinya. “Gue nggak percaya ama Lu, Shan...!!!”
“Ghai, Please...!!!”
‘Srkkkkkk’
Ghaida menyayatkan pisaunya pada leher Shania. Darahnya menyembur mengenai baju
dan wajahnya. Shania tergeletak dengan mata yang masih terbuka.
Ghaida langsung melemparkan pisau itu begitu
saja ke tanah, muncul sedikit rasa bersalah pada dirinya. Apa yang sebenarnya
dirasa olehnya? Kenapa ia mendadak menjadi psikopat seperti ini? Menjadi sosok
pembunuh dua orang temannya. Arrgghhh.
Ghaida mengusap-usap tangannya yang penuh dengan darah ke celana jins yang ia
kenakan, namun namanya darah tidak hilang begitu saja, apalagi darah Kinal
sudah ikut mengering seolah menyatu mewarnai telapak tangannya. Lebih baik bila
dirinya kembali kedalam mobil untuk mengambil air mineral guna membasuhnya.
.
.
“Shitttt...!! Kenapa nggak
hilang-hilang?”
Dilihatnya Ve yang masih belum juga
terjaga, sangat cantik jika dipandang matanya. Hasrat kelelakiannya muncul
sedikit mengacuhkan problema darah yang menjadi saksi bisu pembunuhan yang Ghaida
lakukan terhadap kedua temannya.
Berjalan mendekati Ve, semakin dekat
lalu berjongkok dihadapannya. Menikmati pemandangan indah itu dari dekat.
Dibelainya menggunakan jemarinya, lembut menyentuh pipi Veranda. Jarang berada
dalam moment seperti ini. Sampai dia
mendekatkan wajahnya, menyerongkan kepalanya ke arah kiri semakin dekat,
seperti ingin mencumbu veranda. Sepersekian detik, dan jarak itu hanya terpaut
lima centi meter mata Ve terbuka, dan dia kaget. Sontak Ve mendorong Ghaida
yang ia kira cowok yang akan berperilaku kurang ajar terhadap dirinya.
“Ghaida...!!!”
Ghaida celingukan, layaknya maling yang
ketahuan mencuri.
“Eum, Ve. Lu udah bangun?” Basa-basi
Ghaida dalam salah tingkahnya.
“Yang lain kemana?” Tanya Ve yang hanya
melihat Ghaida di tempat ini.
“Yang lain ... ” Ghaida enggan
meneruskan ucapannya.
“Itu, kenapa di baju lu ada darah..??
Kinal mana, Ghai?” Ghaida tak menjawabnya, emosi menyeruak dalam batinnya.
Kinal lagi. Kinal Lagi. Apa di dalam hati Ve hanya ada Kinal? Arrrrgh..
“Jawab, Ghai..!!”
“Mereka ...” Masih juga Ghaida
menggantungkan kalimatnya.
“Mereka sudah menyusul Melody” imbuhnya
kemudian.
Deg. Apa maksudnya perkataan Ghaida ini?
Ve sungguh bingung tak mengerti.
“Disini hanya ada gue dan lu. Kalau lu
nggak ingin bernasib dengan mereka, lu nurutin gue...!!!”
“Jadi, kamu ...” Ve membungkam mulutnya
tak percaya.
“Iyah, gue yang ngebunuh mereka” lanjut
Ghaida yang sontak membuat Ve memukulinya disertai isak tangisnya.“Tega kamu Ghai,
Tega...!!!” Tak masalah bagi Ghaida, terus mendapat pukulan dari Ve. Ve sudah
tak bertenaga, dan Ghaida mampu menahannya. Lalu, dibekapnya Ve dalam
rangkulannya. “Sorry, Ve. Ini karena gue sayang sama lu.” Ve memberontaknya. Erat
sekali pelukannya. Sekuat tenaga Ve mencoba hempaskan dan itu berhasil. ‘Plak’ Ve telak menampar Ghaida. “Psikopat
lu, Ghai” Ve berjalan menjauh dari Ghaida.
.
.
Ghaida mengejarnya, dan sukses menggapai
tangan Ve. Lalu ditariknya tangan Ve dengan kasar.
“Ikut, Gue...!!!” Titahnya pada Ve.
“Lepasin gue, Ghai...!!!” Ve
memberontaknya.
Sisi psikopatnya pun muncul, dengan
kasar dijatuhkanlah Ve sehingga ia tersungkur di tanah. Ghaida mendekat membuat
Ve makin ketakutan. Apa yang akan dilakukan Ghaida kepadanya? Ve berjalan
mundur bak suster ngesot menggunakan kedua tanganya yang menempel pada permukaan
tanah. Makin mundur dan mundur. Deg. Mentog. Ve melihat kebelakangnya sudah
tidak ada jalanan yang ada turunan terjal lagi. “Lu mau kemana lagi, Ve?”
sadisnya Ghaida menyerang sisi psikologis Ve yang makin ketakutan.
Ghaida mendekat dan akan membekap dalam
rangkulannya, Ve menaburkan tanah ke arah Ghaida. Membuatnya matanya kelilipan.
Ghaida lengah, Ve langsung berdiri dibalik tubuh Ghaida lalu menjorokannya ke
jalan menurun. Ghaida terguling-guling, sampai akhirnya tubuhnya tersangkut
pohon besar. Disebelahnya lagi-lagi, sosok berjubah hitam muncul dengan senyum
menyeringgai menatap tajam ke arah Ve.
.
.
“Ve...” sesaat terdengar suara seseorang
memanggil namanya, seketika kejadian-kejadian yang berlalu tadi berjalan mundur
hingga dia dikembalikan ke tempat ini di kantin kampus dimana Ghaida, Kinal,
Shania dan Melody merencanakan sebuah liburan esok hari. Namun mereka masih
menunggu persetujuan dari cewek bernama ‘Ve’ karena sedari tadi dia sibuk
melamun entah memikirkan apa.
‘Eum’ Ve tersadar. Pandangan aneh ada
dihadapannya, perasaan beberapa detik yang lalu dirinya ditarik untuk menyaksikan
sebuah drama keji dalam imajinasinya dimana dia dan teman-temannya menjadi
lakon disana.
“Hey, kita nunggu jawaban lu, Ve” Kinal
membuyarkan kebingungannya. Yah, sebelum ini temannya bertanya, apakah dia mau
ikut liburan bersama dengan mereka atau tidak dan Ve baru teringat akan
pertanyaan itu.
“Besok yah?” Ve berbalik tanya, seolah
enggan untuk menyetujuinya ia masih takut kalau lamunannya benar adanya. Sosok
berjubah hitam itu. Tatapan terakhirnya. Seolah membayang-bayanginya terus.
“Tahun depan, Ve..!! ya besok lah”
Shania nyablak.
“Gue nggak ikut deh” jawab Ve singkat.
“Ve, ayolah. Lu ikut yah” Kinal memohon
padanya sembari memainkan alis. Rupanya Kinal juga genit berharap bisa
meluluhkan pendirian Ve.
“Gue punya firasat kalau kita mengalami
kecelakaan mobil dan kalian mati hanya ... ”
“Hanya lu yang hidup” Lanjut Ghaida dan Ve
hanya menganggukan kepalanya.
Hening, lalu keempatnya tertawa lepas
terbahak-bahak mendengar kalimat yang Ve lontarkan.
“Ve.. Sejak kapan lu punya six sense?” tanya Melody yang sedari
hanya diam.
“Six
sense?” Dari kecil Ve tidak pernah merasakan perasaan seaneh ini. Tapi
rasanya begitu kuat, dan Ve takut kalau itu benar-benar terjadi.
“Okelah gue ngikut kalian gimana
asyiknya aja” Jawab Ve membuat keempat temannya bersorai gembira, “Yeay..!!
Puncak I’m Coming..!!!”
.
.
Sesuai apa yang mereka rencanakan kemarin, hari
ini mereka liburan ke Puncak. Sebelumnya Ve meyakinkan diri untuk yang memegang
kemudi. Namun yang lain tak percaya, Ve baru saja lulus dari privatnya menyetir
mobul, jelas mereka tidak mau mempertaruhkan nyawa mereka untuk dipegang dalam
kendali Ve. Akhirnya fix Melody yang memang sudah ahli naik turun gunung yang
mereka percaya mampu menjaga nyawa mereka selama perjalanan.
Diperjalanan mereka bernyanyi bersorak sorai
persis dengan lamunan Ve kemarin. Disini, Ve sengaja tidak menggunakan ear phone ataupun terlalu fokus melihat
kedepan. Ia akan standby kalau Melody
memerlukan bantuannya umtuk mengambilkan sesuatu, karena yang dia ingat dalam
lamunannya ada barang Melody yang terjatuh dan dia yang dimintai bantuan namun tidak
mendengarnya alhasil Melody mengambilnya sendiri. Dan terjadilah kecalakaan
na’as itu. Ve berusaha agar lamunannya tidak menjadi nyata.
‘Dugggg’
Ponsel milik Melody terjatuh. Cepat-cepat Ve yang melihatnya langsung
mengambilkannya.
“Ini, Mel” Ponsel itu langsung
diserahkan pada Melody
“Makasih, Ve” Senyum itu sangat tulus.
Melody memijit-mijit keypad hand phonenya, untuk menelpon
seseorang.
“Halo. .Iya. Nanti kita langsung ketemu
di Puncak aja. Kita pesta barbeque.
Oke?. .Gue bareng teman-teman gue, pokoknya disana kita have fun lah, ...” Asyik sekali Melody bercakap-cakap dalam keadaan
menyetir dijalanan yang tidak bersahabat seperti jalanan ini.
“Mel, Fokus jalan Mel” Ve mengingatkan.
“Sebentar yah ... “ Ujar Melody pada
seseorang diujung telp itu.
“Bawel banget lu, Ve. Gue udah biasa
keyak gini. Suntuk kalau cuma diam” jelasnya pada Ve.
“Iya deh, terserah lu, Mel” Ve menyerah.
“Maaf, yah. Tadi temen gue bawel banget,
hehe. Iya...” Melody kembali bercakap-cakap.
Lagi. Sosok manusia berjubah hitam itu
muncul kembali seperti ingin menghalangi jalan yang mereka lalui.
“Awas, Mel...!!!” Teriak Ve yang membuat
Melody kalut karena sosok itu semakin dekat dan dia tidak bisa menginjak rem
mobilnya, alhasil persis dengan lamunan Ve, Melody membanting setir ke arah
kiri dan Melody tak mampu mengimbanginya, ia lepas kendali sehingga menabrak
pembatas jalan kiri.
‘Brrrrkkk’
Mobil meluncur ke arah jalanan menurun.
“Aaaaaaaaa....!!!!”
- The End-
Kita tidak tau apa yang terjadi hari
esok. Berapa rejeki yang kita dapat? Dengan siapa kita berjodoh? Begitu juga
dengan misteri kematian. Kita tidak tau kapan kita mati? Dimana kita mati?
Dalam keadaaan bagaimana kita mati?
“Dan Alloh sekali-kali tidak akan
menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Alloh
maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S.Al-Munafiqun)
Mungkin kita meninggal dalam kecelakaan
tragis atau-kah khusnul khotimah. Untuk itu, persiapkan diri untuk akhir hidup
yang indah dengan cara memperbaiki kualitas diri dengan tauhid dan ibadah.
“Saat kau meninggal dunia, kira-kira apa
yang akan dikatakan oleh orang terdekatmu tentang dirimu, orangtua/keluargamu,
sahabatmu atau rekan seprofesimu?” (Stephen.R Coney)
Ibarat pepatah, “Gajah mati meninggalkan
gading, harimau mati meninggalkan belang” begitu juga manusia, ia mati
meninggalkan nama. Entah itu nama baik atau nama buruk. Persiapkan akhir hidup
kalian.
Terima kasih...:)
Writer : Hanifah
Argubie
Twitter : @HanBie_48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar