Minggu, 05 April 2015

Last Holiday





‘Di sini senang, di sana senang, dimana-mana hatiku senang’

Sorak sorai lima anak manusia terdengar dari dalam mobil Honda Brio. Tanjakan, tikungan tajam ataupun turunan curam dilewati tanpa ada firasat buruk sekali-pun. Yang ada kini hanya kegembiraan setelah empat bulan lebih lamanya disibukkan setumpuk tugas kuliah, organisasi dan diakhiri dengan UAS yang seminggu lalu telah usai. Kini saatnya merayakan liburan semesteran, berusaha melepas kepenatan hidup di kota. Dan satu tempat yang di tuju adalah Puncak, berpesta barbeque. Wah, membayangkannya saja akan menjadi liburan yang menyenangkan kalau saja ...

Duggg’ Ponsel milik Melody si pengendara mobil terjatuh. Sekilas ia meliriknya, ponselnya sangat susah untuk digapainya.

“Ve, tolong ambilin Hp gue gih” Pintanya pada cewek yang duduk di sebelah kemudinya, nyatanya dihiraukan begitu saja oleh cewek bernama ‘Ve’ itu.

“Ve” Melody sedikit menoleh ke arahnya. Ve masih asyik memakukan pandangannya ke depan dengan ear phone yang terpasang apik di kedua daun telinganya. “Pantas aja dia nggak denger” gumamnya yang kemudian mengambil ponsel itu sendiri. Merogoh-rogoh ke bawah dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya masih diusahakannya untuk mengendalikan setir mobil. Susah rupanya. Nekad, mata Melody mengikuti gerakan tangan kirinya. Di tengok-tengok dan ...

“Awas, Mel...!!!” teriak Ve, Melody tersadar dan langsung mengangkat pandangan matanya. Dihadapan mereka terlihat sosok manusia berjubah hitam dengan tudung yang menutupi hampir sebagian wajahnya dan tangan kanan yang menggenggam sebuah garpu setinggi dua meter, layaknya malaikat maut. Melody kalut, diinjak rem mobil itu berkali-kali namun tak kunjung berhenti. Sementara sosok itu semakin dekat dengan mobilnya dan akan tertabrak. Tanpa pikir panjang Melody membanting setir ke arah kiri. Melody hilang kendali dan menabrak pembatas jalan. Tak disangka jalanan sebelah kiri itu merupakan jalanan menurun yang sangat curam dengan banyak pepohonan besar menjulang tinggi.

‘AAAAA..!!!’ teriak seisi mobil itu.

Dug.

Mobil sukses terhenti karena menabrak sebuah pohon dengan kencangnya, membuat seisi mobil terdorong kedepan tak terkecuali si pengemudi yang lupa menggunakan sabuk pengaman, kepalanya membentur setir mobil dengan keras.
.
.
Lama waktu berselang, belum ada tanda-tanda seorang diantara mereka yang sadar. Sampai jemari lentik milik seseorang bernama ‘Ve’ melakukan sedikit gerakan.

Auwhh’ Rintihnya memegangi pelipisnya. Berdarah. Matanya sedikit terbuka. Apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya? Ve masih setengah sadar, menata memorinya mengingat kejadian sebelumnya. Hanya sosok berjubah hitam yang memenuhi otaknya. Mungkinkah itu sosok malaikat pencabut nyawa?

Arrggghh’ Kepalanya makin pusing akan pikiran-pikiran yang tidak logis. Di tengoknya ke arah kanan.

“Astaga, Mel” teriaknya membungkam mulutnya rapat-rapat. Kepala Melody bersimbah darah. Tak tega Ve melihat keadaan temannya seperti itu. “Mel, sadar. Mel” ucapnya menggoncangkan tubuh mungil Melody. Namun tak juga sadar. Ve memberanikan diri membuka kelopak mata Melody. Putih, hanya sedikit lensa hitam yang masih terlihat. Dirabanya urat nadi bagian leher tepat di bawah daun telinga mendekat ke arah dagu. Tak ada denyutan nadi yang terasa. “Astaga Mel” Masih diiringi perasaan terkejut, Ve menoleh ke arah belakang untuk memastikan ketiga teman lainnya yang duduk di shaf belakang tidak bernasib sama seperti Melody yang telah kehilangan nyawanya.

Tak lama. Satu. Dua. Tiga. Ghaida, Kinal dan Shania secara berurutan mulai tersadar. Sama seperti Ve, mereka juga menanyakan apa yang sebenarnya terjadi?
.
.
Dilentangkannya tubuh Melody dalam pembaringannya, dan tak lupa Ghaida menutup wajah Melody dengan sapu tangannya. Karena bagi mereka itu sangat  mengerikan jika tetap dibiarkan terbuka. Lalu, mereka berdiri mengelilingi mayat Melody diiringi tangisan dari Shania. “Mel, kenapa lu harus pergi dengan cara yang tragis seperti ini?” Ditengoknya Ve yang masih berdiri menggigit ujung jemarinya, nampak sekali ketakutannya. ‘Kalau saja teriakannya tidak mengangetkan Melody’ Tatapannya tajam tak bersahabat.

Tiba-Tiba Shania mendekat ke arahnya dan ...

Brruugghhh’ Shania mendorong Ve sampai dia terjungkal ke belakang.

“Lu...!!! Lu penyebab Melody mati, Ve...!!!” Bentaknya kemudian, sambil menganggkat kerah baju Ve dan siap melangsungkan pukulan ke wajahnya. Mata Ve hanya bisa terpejam. Siap tak siap pipi mulusnya akan didaratkan sebuah pukulan. Ve sadar, ini salahnya. Andai tadi dia tidak teriak mengagetkan Melody semua akan baik-baik saja, tidak terjebak dalam kedaan seperti ini.

“Shan...!!!” Sayang aksi Shania dapat dihentikan oleh Kinal yang dengan sigap menepis pukulan Shania yang hampir mengenai wajah Ve, lalu menghempaskannya jatuh ke tanah.

“Disituasi genting seperti ini, lu masih bisa menyalahkan orang. Dimana otak lu? Ha...!!!” Shania hanya bisa terdiam atas pembelaan Kinal untuk Ve.
.
.
Kinal membantu Ve untuk berdiri, “Lu nggak kenapa-kenapa kan?” tanyanya dan Ve hanya mengangguk. “Lu nggak perlu takut, bukan lu yang salah. Semua takdir, Ve” ucapnya sembari memberi rangkulannya.

“Makasih, Nal” tanggapnya dalam senyuman yang Ve tunjukkan, tak disangka menyisakan sesak luka di hati sepasang mata yang melihat scene yang dilakoni oleh Ve dan Kinal. Dia jeoleus.

‘Kenapa dia yang selalu jadi pahlawannya, Ve...!! Arrggghh’ Geramnya sambil mengeratkan genggaman tangannya lalu  sekuat tenaga dipukulkan ke arah pohon sebagai pelampiasan emosinya.
.
.
Langit semakin senja, rasa lelah suntuk menghantui mereka. Bantuan juga belum datang. Kendala signal-lah yang menyulitkan mereka untuk mencari bantuan.

Shania  hanya bisa duduk memeluk lututnya merasakan hawa dingin yang mulai merasuki tulang belulangnya. Disini, di dataran tinggi ini, semakin malam maka hawa akan semakin dingin. Shania menggosok-gosok kedua tangannya, lalu ia tempelkan ke beberapa bagian tubuhnya guna memberikan kehangatan.

Sedang Ghaida, dia mengasah-asah pisau kecilnya yang sedari tadi ia gunakan untuk membuat ukiran tulisan pada sebuah pohon dan tak jauh dalam keadaan yang berhadapan dengannya, ada Kinal dan Ve yang duduk dengan punggung yang menyender pada pohon besar. Rasa lelah, membuat Ve memejamkan matanya sehingga tak sadar dia tertidur dibahu Kinal. Makin membuat seseorang yang melihatnya geram dan makin cemburu.
.
. 
“Nal, gue pengin ngomong berdua sama lu” Pinta Ghaida saat dirinya telah berdiri di hadapan Kinal.

“Ngomong disini aja, Ghai” Tolak Kinal.

“Ve, masih tidur. Gue nggak mau kita ganggu tidurnya. Jadi sebaiknya kita agak menjauh dari sini” Usul Ghaida yang membuat Kinal menoleh kesebelahnya dan benar Ve tertidur.

“Okeh” dengan hati-hati Kinal mengangkat kepala Ve yang menyender dengan nyamannya di bahu Kinal.
.
.
Ghaida dan Kinal berjalan menjauh dari arena kecelakaan itu. Sebelumnya Shania melihat gelagat aneh dari keduanya, terbesit pikiran negatif ‘apa mungkin aku ( Shania ) dan Ve akan ditinggal berdua ditempat ini?’ Akhirnya Shania memutuskan untuk mengekor di belakang Ghaida dan Kinal dengan cara mengendap-endap.

Ghaida berhenti sejenak, sambil menoleh ke kanan dan ke kiri memastikan tidak ada yang mendengar ataupun mengintip perbincangannya pada Kinal.

“Disini aja, Nal”

“Lu mau ngomong apa sebenarnya?” sergap Kinal tanpa basa-basi.

“Ve, cantik ya, Nal” Kinal hanya mengangguk menyetujui apa yang Ghaida utarakan.

“Kalau dia cantik emangnya kenapa?” tanya Kinal kemudian.

Ghaida mengambil sebilah pisaunya dari saku belakang celananya. Lalu, ia dekatkan pada wajah Kinal, memutar-mutarkanya seperti bermain-main dengan benda tajam ditangan kanannya.

“Gue uda lama memperhatikan dia. Dan gue rasa gue cinta dengannya” ungkapnya yang membuat Kinal terkejut.

“Jujur gue nggak suka lu sok jadi pahlawan di depannya. Dan gue harap lu bisa jauhin dia” Imbuhnya kemudian.

“Sorry, Ghai. Gue nggak bisa ngejauhin dia, karena bagaimanapun dia sahabat gue. Dan gue akan selalu menjaganya dari cewek gila nggak normal kayak lu” Tolak Kinal mentah-mentah yang langsung menghantamkan pukulan tepat pada wajah Ghaida sampai ia terjatuh.

“Lu...!!” sambil menyeka darah yang terlanjur keluar di sudut bibirnya, Ghaida kembali bangkit. Dengan pisau yang masih ia genggam erat, ia layangkan ke arah perut Kinal. Dan ...

Jleb...’ Kinal terlambat menghindar, darah segar mengucur deras dari dalam perutnya. Tanpa belas kasih Ghaida menarik kembali pisau yang telah menancap itu. Kinal meraung kesakitan.

“Ghaid....” rasanya ingin menyerang Ghaida kembali, namun kondisinya sudah tidak dapat ia tahan, membuatnya ambrug ditempat.
.
.
Srrrrkkkk’ di balik pohon besar Shania melihat semuanya. Melihat pembunuhan di hadapannya, tangannya gemetaran membuatnya bereaksi untuk kabur dari pandangan Ghiada. Takut jika selanjutnya dia yang akan menjadi korban aksi psikopatnya Ghaida.

Ghaida mendengar, secepat kilat ia menoleh. Matanya bak elang pemburu mangsa. Dia. Shania melihatnya. Dengan gesit, Ghaida mengejarnya.

Hap’ Ghaida menarik rambut panjang Shania. Membuat langkah kaki Shania terhenti, menoleh berhadapan dengan Ghaida.

Auuwhhhh

“Ghai, gue nggak ada urusan sama lu. Tolong jangan bunuh gue” Rengek Shania.

Sambil menjilat darah Kinal yang telah ia bunuh, lalu ia putar-putarkan. Lagi-lagi dia bermain dengan pisau.

“Lu ngelihat gue bunuh Kinal kan? Dan pastinya lu juga denger kalau gue suka ama Ve kan?”

“Nggak, gue nggak lihat dan gue juga nggak dengar”dusta Shania yang membuat Ghaida emosi menampar Shania.

“Bohong, lu...!!!”  Shania terjatuh memegangi pipinya yang melebam, tangisannya pun pecah.

“Gue bisa lu jamin nggak akan bocorin apa yang gue liat dan gue denger, Ghai. Please jangan bunuh gue, gue masih ingin hidup...!!” dalam ketakutannya Shania masih memohon-mohon pada Ghaida agar tidak membunuhnya. Namun bukannya Ghaida luluh, Ghaida malah menampar Shania untuk kedua kalinya. “Gue nggak percaya ama Lu, Shan...!!!”

“Ghai, Please...!!!”

Srkkkkkk’ Ghaida menyayatkan pisaunya pada leher Shania. Darahnya menyembur mengenai baju dan wajahnya. Shania tergeletak dengan mata yang masih terbuka.

Ghaida langsung melemparkan pisau itu begitu saja ke tanah, muncul sedikit rasa bersalah pada dirinya. Apa yang sebenarnya dirasa olehnya? Kenapa ia mendadak menjadi psikopat seperti ini? Menjadi sosok pembunuh dua orang temannya. Arrgghhh. Ghaida mengusap-usap tangannya yang penuh dengan darah ke celana jins yang ia kenakan, namun namanya darah tidak hilang begitu saja, apalagi darah Kinal sudah ikut mengering seolah menyatu mewarnai telapak tangannya. Lebih baik bila dirinya kembali kedalam mobil untuk mengambil air mineral guna membasuhnya.
.
.
“Shitttt...!! Kenapa nggak hilang-hilang?”

Dilihatnya Ve yang masih belum juga terjaga, sangat cantik jika dipandang matanya. Hasrat kelelakiannya muncul sedikit mengacuhkan problema darah yang menjadi saksi bisu pembunuhan yang Ghaida lakukan terhadap kedua temannya.

Berjalan mendekati Ve, semakin dekat lalu berjongkok dihadapannya. Menikmati pemandangan indah itu dari dekat. Dibelainya menggunakan jemarinya, lembut menyentuh pipi Veranda. Jarang berada dalam moment seperti ini. Sampai dia mendekatkan wajahnya, menyerongkan kepalanya ke arah kiri semakin dekat, seperti ingin mencumbu veranda. Sepersekian detik, dan jarak itu hanya terpaut lima centi meter mata Ve terbuka, dan dia kaget. Sontak Ve mendorong Ghaida yang ia kira cowok yang akan berperilaku kurang ajar terhadap dirinya.

“Ghaida...!!!”

Ghaida celingukan, layaknya maling yang ketahuan mencuri.

“Eum, Ve. Lu udah bangun?” Basa-basi Ghaida dalam salah tingkahnya.

“Yang lain kemana?” Tanya Ve yang hanya melihat Ghaida di tempat ini.

“Yang lain ... ” Ghaida enggan meneruskan ucapannya.

“Itu, kenapa di baju lu ada darah..?? Kinal mana, Ghai?” Ghaida tak menjawabnya, emosi menyeruak dalam batinnya. Kinal lagi. Kinal Lagi. Apa di dalam hati Ve hanya ada Kinal? Arrrrgh..

“Jawab, Ghai..!!”

“Mereka ...” Masih juga Ghaida menggantungkan kalimatnya.

“Mereka sudah menyusul Melody” imbuhnya kemudian.

Deg. Apa maksudnya perkataan Ghaida ini? Ve sungguh bingung tak mengerti.

“Disini hanya ada gue dan lu. Kalau lu nggak ingin bernasib dengan mereka, lu nurutin gue...!!!”

“Jadi, kamu ...” Ve membungkam mulutnya tak percaya.

“Iyah, gue yang ngebunuh mereka” lanjut Ghaida yang sontak membuat Ve memukulinya disertai isak tangisnya.“Tega kamu Ghai, Tega...!!!” Tak masalah bagi Ghaida, terus mendapat pukulan dari Ve. Ve sudah tak bertenaga, dan Ghaida mampu menahannya. Lalu, dibekapnya Ve dalam rangkulannya. “Sorry, Ve. Ini karena gue sayang sama lu.” Ve memberontaknya. Erat sekali pelukannya. Sekuat tenaga Ve mencoba hempaskan dan itu berhasil. ‘Plak’ Ve telak menampar Ghaida. “Psikopat lu, Ghai” Ve berjalan menjauh dari Ghaida. 
.
.
Ghaida mengejarnya, dan sukses menggapai tangan Ve. Lalu ditariknya tangan Ve dengan kasar.

“Ikut, Gue...!!!” Titahnya pada Ve.

“Lepasin gue, Ghai...!!!” Ve memberontaknya.

Sisi psikopatnya pun muncul, dengan kasar dijatuhkanlah Ve sehingga ia tersungkur di tanah. Ghaida mendekat membuat Ve makin ketakutan. Apa yang akan dilakukan Ghaida kepadanya? Ve berjalan mundur bak suster ngesot menggunakan kedua tanganya yang menempel pada permukaan tanah. Makin mundur dan mundur. Deg. Mentog. Ve melihat kebelakangnya sudah tidak ada jalanan yang ada turunan terjal lagi. “Lu mau kemana lagi, Ve?” sadisnya Ghaida menyerang sisi psikologis Ve yang makin ketakutan.

Ghaida mendekat dan akan membekap dalam rangkulannya, Ve menaburkan tanah ke arah Ghaida. Membuatnya matanya kelilipan. Ghaida lengah, Ve langsung berdiri dibalik tubuh Ghaida lalu menjorokannya ke jalan menurun. Ghaida terguling-guling, sampai akhirnya tubuhnya tersangkut pohon besar. Disebelahnya lagi-lagi, sosok berjubah hitam muncul dengan senyum menyeringgai menatap tajam ke arah Ve.
.
.
“Ve...” sesaat terdengar suara seseorang memanggil namanya, seketika kejadian-kejadian yang berlalu tadi berjalan mundur hingga dia dikembalikan ke tempat ini di kantin kampus dimana Ghaida, Kinal, Shania dan Melody merencanakan sebuah liburan esok hari. Namun mereka masih menunggu persetujuan dari cewek bernama ‘Ve’ karena sedari tadi dia sibuk melamun entah memikirkan apa.

‘Eum’ Ve tersadar. Pandangan aneh ada dihadapannya, perasaan beberapa detik yang lalu dirinya ditarik untuk menyaksikan sebuah drama keji dalam imajinasinya dimana dia dan teman-temannya menjadi lakon disana.

“Hey, kita nunggu jawaban lu, Ve” Kinal membuyarkan kebingungannya. Yah, sebelum ini temannya bertanya, apakah dia mau ikut liburan bersama dengan mereka atau tidak dan Ve baru teringat akan pertanyaan itu.

“Besok yah?” Ve berbalik tanya, seolah enggan untuk menyetujuinya ia masih takut kalau lamunannya benar adanya. Sosok berjubah hitam itu. Tatapan terakhirnya. Seolah membayang-bayanginya terus.

“Tahun depan, Ve..!! ya besok lah” Shania nyablak.

“Gue nggak ikut deh” jawab Ve singkat.

“Ve, ayolah. Lu ikut yah” Kinal memohon padanya sembari memainkan alis. Rupanya Kinal juga genit berharap bisa meluluhkan pendirian Ve.

“Gue punya firasat kalau kita mengalami kecelakaan mobil dan kalian mati hanya ... ”

“Hanya lu yang hidup” Lanjut Ghaida dan Ve hanya menganggukan kepalanya.

Hening, lalu keempatnya tertawa lepas terbahak-bahak mendengar kalimat yang Ve lontarkan.

“Ve.. Sejak kapan lu punya six sense?” tanya Melody yang sedari hanya diam.

Six sense?” Dari kecil Ve tidak pernah merasakan perasaan seaneh ini. Tapi rasanya begitu kuat, dan Ve takut kalau itu benar-benar terjadi.

“Okelah gue ngikut kalian gimana asyiknya aja” Jawab Ve membuat keempat temannya bersorai gembira, “Yeay..!! Puncak I’m Coming..!!!”
.
.
 Sesuai apa yang mereka rencanakan kemarin, hari ini mereka liburan ke Puncak. Sebelumnya Ve meyakinkan diri untuk yang memegang kemudi. Namun yang lain tak percaya, Ve baru saja lulus dari privatnya menyetir mobul, jelas mereka tidak mau mempertaruhkan nyawa mereka untuk dipegang dalam kendali Ve. Akhirnya fix Melody yang memang sudah ahli naik turun gunung yang mereka percaya mampu menjaga nyawa mereka selama perjalanan.

Diperjalanan mereka bernyanyi bersorak sorai persis dengan lamunan Ve kemarin. Disini, Ve sengaja tidak menggunakan ear phone ataupun terlalu fokus melihat kedepan. Ia akan standby kalau Melody memerlukan bantuannya umtuk mengambilkan sesuatu, karena yang dia ingat dalam lamunannya ada barang Melody yang terjatuh dan dia yang dimintai bantuan namun tidak mendengarnya alhasil Melody mengambilnya sendiri. Dan terjadilah kecalakaan na’as itu. Ve berusaha agar lamunannya tidak menjadi nyata.

Dugggg’ Ponsel milik Melody terjatuh. Cepat-cepat Ve yang melihatnya langsung mengambilkannya.

“Ini, Mel” Ponsel itu langsung diserahkan pada Melody

“Makasih, Ve” Senyum itu sangat tulus.

Melody memijit-mijit keypad hand phonenya, untuk menelpon seseorang.

“Halo. .Iya. Nanti kita langsung ketemu di Puncak aja. Kita pesta barbeque. Oke?. .Gue bareng teman-teman gue, pokoknya disana kita have fun lah, ...” Asyik sekali Melody bercakap-cakap dalam keadaan menyetir dijalanan yang tidak bersahabat seperti jalanan ini.

“Mel, Fokus jalan Mel” Ve mengingatkan.

“Sebentar yah ... “ Ujar Melody pada seseorang diujung telp itu.

“Bawel banget lu, Ve. Gue udah biasa keyak gini. Suntuk kalau cuma diam” jelasnya pada Ve.

“Iya deh, terserah lu, Mel” Ve menyerah.

“Maaf, yah. Tadi temen gue bawel banget, hehe. Iya...” Melody kembali bercakap-cakap.

Lagi. Sosok manusia berjubah hitam itu muncul kembali seperti ingin menghalangi jalan yang mereka lalui.

“Awas, Mel...!!!” Teriak Ve yang membuat Melody kalut karena sosok itu semakin dekat dan dia tidak bisa menginjak rem mobilnya, alhasil persis dengan lamunan Ve, Melody membanting setir ke arah kiri dan Melody tak mampu mengimbanginya, ia lepas kendali sehingga menabrak pembatas jalan kiri.

Brrrrkkk’ Mobil meluncur ke arah jalanan menurun.

Aaaaaaaaa....!!!!

- The End-

Kita tidak tau apa yang terjadi hari esok. Berapa rejeki yang kita dapat? Dengan siapa kita berjodoh? Begitu juga dengan misteri kematian. Kita tidak tau kapan kita mati? Dimana kita mati? Dalam keadaaan bagaimana kita mati?

“Dan Alloh sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Alloh maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S.Al-Munafiqun)

Mungkin kita meninggal dalam kecelakaan tragis atau-kah khusnul khotimah. Untuk itu, persiapkan diri untuk akhir hidup yang indah dengan cara memperbaiki kualitas diri dengan tauhid dan ibadah.

“Saat kau meninggal dunia, kira-kira apa yang akan dikatakan oleh orang terdekatmu tentang dirimu, orangtua/keluargamu, sahabatmu atau rekan seprofesimu?” (Stephen.R Coney)

Ibarat pepatah, “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang” begitu juga manusia, ia mati meninggalkan nama. Entah itu nama baik atau nama buruk. Persiapkan akhir hidup kalian.

Terima kasih...:)

Writer  : Hanifah Argubie
Twitter : @HanBie_48






Tidak ada komentar: