Kamis, 21 Mei 2015

Three Angels ( Part 5 )



Kinal dan teman2nya berada di ruangan luas yg di kelilingi oleh kaca. Bersiap untuk latihan dance seperti biasanya. Tiba2 salah satu temannya yg baru datang, menggandeng seseorang.

"Teman2, kenalin ini temanku dari Bandung. Nah kita kan lagi butuh pengganti si Beby, jadi aku saranin dia untuk bergabung di grup kita". Ujar Jeje membawa seorang gadis manis berambut panjang bergelombang.

"Haii...aku Rezky Wiranti Dhike, panggil aku Dhike". Ucap gadis itu memperkenalkan diri.

Seketika, pandangan Kinal tertuju padanya.

"Oh ya, aku bekerja di sebuah bank swasta di Jakarta ini. Dari dulu, aku suka banget sama dance dan sempat bergabung di grup 'Dreaming Girls' saat di Bandung. Karena aku pindah kesini, jadi sudah gak aktif di sana dan aku harap kalian mengijinkan aku bergabung bersama". Jelas Dhike panjang lebar.

Membuat Kinal tertarik dan mengamati gadis itu.

"Iya guys, Dhike ini jago loh soal dance". Imbuh Jeje.
"Key, kenalin Kapten kita". Sambil menunjuk ke arah Kinal.

"Dhike". Mengulurkan tangannya.

"Kinal". Menjabat dengan lembut.
"Oke, sebelum kamu bisa bergabung di 'Great Dance' aku ingin melihat perfome kamu".

Saat Dhike menunjukkan kemampuannya, Kinal benar2 menatap tak berkedip. Gerakan lekuk tubuhnya begitu anggun dan menggoda. Tatapan matanya yg tajam dengan senyum tipis di sudut bibirnya adalah tatapan tsundere. Tatapan yg membuat hati Kinal bergetar. Kinal terpesona.
.
.
Belum selesai ingatan akan masa lalunya. Tiba2 pintu ruangannya terbuka.
*Brakk!!*

Tanpa ada ketukan atau ucapan salam. Kinal terlonjak, hampir saja jantungnya melompat keluar dari mulutnya yg menganga.

"Mbak, Kinal!!". Sebuah teriakkan menyempurnakan kekagetannya.

"Dhian....! Kenapa gak ketuk pintu dulu? Kamu membuat....".

"Gak sempat!". Potong Dhian cepat dengan wajah pucat.

"Hah?". Kinal mengerutkan alis.

"Mbak, hujannya lebat banget!".

*jeddarrrr!!* suara kilat menyambar. Dhian bertambah panik.

"Iya emang, terus?". Santai Kinal.

"Eh, emm...maksudnya
..aku itu...itu....".

"Ngomong yg jelas, bisa kali?!".

"Lap...lapangan Bintang banjir!". Teriak Dhian saking paniknya.

"Apa?!".

"Aku baru dapat laporan tadi dari teman2 yg disana. Lapangan Bintang di terjang banjir dan stand kita hampir roboh". Pekiknya.

"Aaargh...sekarang gimana pameran kita? Standnya?!". Gantian Kinal kalang kabut.

Hari ini mereka membuka stand di lapangan Bintang dalam rangka mengikuti sebuah pameran yg di selenggarakan pemerintah.

"Kacau, mbak. Tadi mereka bilang stand kita hampir roboh karena di terjang badai. Mungkin sekarang....".

"Kita ke lapangan Bintang!". Potong Kinal yg langsung meraih tas kerjanya.

"Sekarang?". Nadanya terlihat ragu2.

"Gak! Tahun depan!!". Ketus Kinal.

Kinal berlari menuruni tangga, mau tak mau Dhian mengekor.

Setengah jam kemudian, mereka tiba di lapangan Bintang. Sungguh pemandangan yg tak mengenakkan. Banjir sudah setinggi lutut orang dewasa. Banyak orang2 yg berlarian kesana kemari, mengangkuti barang2 mereka yg juga membuka stand. Semuanya cemas, berantakan, dan amburadul gak jelas.

Sebelum turun dari mobil, Kinal menggulung celananya sampe di atas lutut. Sepatunya di lepas ganti dengan sandal jepit yg selalu tersedia di mobilnya. Dhian mengamati, diam2 mengagumi bossnya. Karena Kinal perempuan yg tangguh dan mandiri.

Dengan santainya, Kinal berjalan diantara air kotor yg menggenangi lapangan walau hujan badai mengiringinya. Dhian bingung, beberapa menit sempat terdiam, masih di dalam mobil. Tapi melihat bossnya seperti itu, mau tak mau dia terpaksa menyusulnya.

Dengan membawa payung, Dhian berjalan kesulitan menerobos banjir. Karena dia masih memakai sepatu heels. Ck!

"Boss, gimana nih?". Ucap gadis cantik bernama Lisa.

"Iya nih, gimana stand kita?". Satunya lagi, gadis imut yg terlihat panik, dia Intan.

"Sekarang, kita pulang!". Tegas Kinal.

"Tapi driver belum kesini, katanya kejebak banjir di daerah Sultan Agung". Cemas Lisa.

"Aaarrgh sial!!". Dengus Kinal.

Kinal melihat alat2 musiknya yg masih teronggok di stand itu.

"Intan! Lisa! Kalian masukin alat2 musik apa saja yg muat di mobil saya. Sisanya biar saya cari ide dulu". Jelas Kinal.

"Mbak, Kinal. Kamu mau cari bantuan kemana? Aku temani ya?". Tawar Dhian.

"Gak Dhian, mereka lebih membutuhkan kamu disini. Biar aku cari bantuan sendiri". Kinal menunjuk Intan dan Lisa.

"Trus yg mayungin mbak, siapa?".

"Ya ampun....Dhian, aku bukan putri raja yg takut hujan. Jangan khawatir. Aku segera kembali".

Kinal langsung menerobos orang2 yg masih lalu lalang dalam kepanikan. Meskipun kondisi Kinal basah kuyup, tak di pedulikannya. Karena alat2 musik sangat berharga baginya.

Lima belas menit kemudian, Kinal kembali ke stand. Sebagian alat2 musik sudah di pindahkan ke mobilnya. Intan dan Lisa berdiri berdempetan di bawah payung yg di pegang oleh Dhian dan tampaknya mereka kedinginan. grin emotikon

Kinal membawa becak dan tukangnya. Alat musik yg masih tersisa langsung di angkut ke becak dan di tutupi oleh plastik.

"Sayang banget ya, alat2 musik yg bagus2 ini jadi kayak sayuran di bawa sama becak dekil". Celetuk Intan.

Kinal mendelik, dan Lisa langsung membungkam mulut Intan. Kebiasaan, si Intan suka ceplas-ceplos.

Kondisi mobil Kinal tak jauh beda. Intan duduk di jok belakang di temani gitar dan alat2 musik lainnya. Begitupun dengan Lisa yg duduk di jok tengah. Sedang Dhian duduk di sebelah kemudi Kinal dengan memeluk alat saxophone dan beberapa stick drum.

Mereka berempat tak bisa berkutik. Kinal harus hati2 mengemudikan mobilnya. Selain karena jalanan yg tergenangi banjir. Belokan atau jalanan yg berlobang dapat membuat kepala Intan dan Lisa kepentok gagang gitar.

Selama perjalanan lebih dari setengah jam. Tidak ada yg berbicara. Mereka fokus dengan masing2. Hanya terdengar ringisan bahkan sesekali 'aduhan' dari mulut Intan. Karena kepalanya yg sering kepentok. grin emotikon
********

Ku seka ujung bibirku dengan tisu. Sepiring spagetti dan segelas juice strawberry telah berpindah dalam perutku. Tugas siang ini selesai. Perut kenyang, otak pun bisa di pakai kembali. Ku masukkan tablet dan ponsel ke dalam tas, bersiap untuk pulang.
*Deg!*

Aku melihat sepang manusia yg salah satunya sangat ku kenal. Mereka berjalan ke arahku yg hendak menuju pintu keluar kafe. Yah, dia Dion bersama dengan seorang gadis muda dan.....cantik.

"Hai Melody. Baru selesai makan?"
"Oh ya, kenalin. Ini Nabilah". Dion menyapa dengan senyum memuakkan.

Mau tak mau, demi ke sopansantunan. Ku jabat gadis itu yg telah menyorongkan tangannya.

"Melody". Suara ku atur sehangat mungkin.

"Kok sendiri? Pacarnya mana?". Tanya Dion dengan nada suara yg jelas2 mengejek.
"Cari pacar dong. Biar ada yg nemenin makan". Imbuhnya, dengan tangan merangkul pinggang gadis itu.

"Seorang wonder woman gak butuh orang lain". Balasku manis, di manis2in tepatnya.
"Duluan ya". Ku lambaikan tanganku dengan senyum ramah.

Dengan langkah seelegan mungkin, aku berjalan menuju mobil.

"Sialan, si Dion!!!!".
*********

Dua jam kemudian, setelah kembali ke rukonya dan menyempatkan mandi. Kinal mengemudikan mobil avanza merahnya menuju pulang ke rumah. Hari ini, Kinal mengalami kesialannya lagi. Kemarin gagal mendapatkan sponsor untuk pertunjukan amalnya, sekarang.... pameran yg di persiapkan jauh2 hari jadi berantakan karena banjir. Dia berharap semua alat2 musiknya tidak sampe rusak.

Untuk membunuh kebosanan, Kinal mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mengamati orang2, ada yg asik berteduh di halte, ada yg hujan2an naek motor, ada yg berlarian menghindari hujan dan ada yg.......tunggu!

Kinal mengucek matanya, memastikan penglihatannya tak salah. Di trotoar jalan berdiri seorang gadis manis yg sangat di kenalinya. Dia mengenakan celana jean yg ujungnya di kelin dan baju merah lengan panjang. Ada yg lain dari dirinya....... Memegang payung sambil celingak-celinguk.

Setelah yakin mengenalinya, Kinal menepikan mobil hingga kemudian berhenti tepat di depan gadis itu. Kinal menurunkan kaca mobil.

"Dhike!!". Teriaknya keras.

Orang yg di panggil menoleh dan berjalan menghampiri.

"Kinal....". Senyuman khasnya terkembang.

Senyuman tipis yg telah lama sempat hilang dari jangkaun Kinal.

"Key, ngapain di sini?".

"Oh, ini habis dari rumah tante, main".

"Yaudah aku anterin pulang ya?".

"Ah jangan. Ntar malah ngerepotin. Arahnya putar balik loh dari rumah kamu. Gak papa kok, aku tunggu taxi aja".

"Kalo ujan2 gini, taxi jarang lewat. Apalangi beberapa jalanan tergenang banjir. Gak usah sungkan. Buruan masuk!". Kinal membukakan pintu mobil. Dhike tak bisa menolak lagi.

"Makasih ya, aku dah ngerepotin kamu".

"It's oke. Gak perlu sungkan".

"Tapi aku gak enak, kita kan.....".

"Bukan teman dekat, gitu?". Potong Kinal.

"Kita memang bukan teman dekat, Key. Tapi aku tau banyak tentang kamu. Tak pernah sedikitpun kamu luput dari perhatianku sejak kamu menyihir dengan tatapan tsundere dan dance kamu yg gemulai". Gumam Kinal dalam hati.

Sudah 2 tahun ini, Kinal masih memendam perasaanya pada Dhike. Saat masih tergabung di 'Great Dance' diam2 Kinal selalu mengamati dari jauh. Berharap suatu saat bisa dekat dengannya lebih dari teman. Namun, kesempatan itu tak kunjung tiba. Pernah, sekali Dhike di ajak main ke rumah Kinal.

Tapi semenjak Dhike mempunyai kekasih, dia seolah membatasi diri dengan orang lain. Setelah latihan atau perfome di sebuah acara. Dhike pasti buru2 pulang karena selalu di jemput oleh sang pacar. Dhike sudah jarang bergabung untuk sedikit bersenang2 atau sekedar hang out bareng teman2 grup dance.

Kinal berusaha mencari kesempatan untuk mendekati Dhike, tapi semua itu nampak sulit. Tak lama, Dhike mengutarakan sesuatu yg membuat Kinal sakit.
*********

Ghaida berjalan mantap menghampiri Ve. Menunggu selama 5 menit saat wajah Ve di bebaskan dari make up yg menutupi pori2nya selama shooting.

"Wow. Kamu cantik banget, polos. Tanpa make up". Tanpa malu2 Ghaida mendekatkan wajahnya ke Ve.

"Baru tau?". Ve tertawa rentah.

"Tapi, gimana pun. Kamu selalu cantik".
"Hmm... gimana nih perasaan kamu hari terakhir shooting. Senang? Puas? Atau sedih? Karena akan kehilangan aku?". Ghaida memamerkan gigi gingsulnya.

"Gak ada jawaban yg benar!". Ve mendelik cantik.

"Oh ya?". Ghaida memasang ekspresi pura2 kecewa.

"Nih, buat kamu. Minuman spesial dari si ganteng". Ucapnya pede dengan menyerahkan teh botol dingin kepada Ve.

"Thanks". Ve langsung meminumnya karena benar2 haus.

"Segar banget kan?".

"Yups". Singkat Ve.

"Pake banget loh, soalnya minuman iti mengandung vitamin G dan C".

"Apa itu?". Polos Ve.

Ghaida memasang senyuman andalan dan mata genitnya.

"Vitamin G untuk gratis dari Ghaida dan vitamin C untuk........*cups*. kiss emotikon

Sebuah kecupan mendarat lembut di bibir Ve. Meskipun itu bukan ciuman pertama mereka. Tapi selalu saja, Ve memunculkan semburat warna merah di kedua pipi chubbynya.
**********
.
.
"Apa kabar Papa dan Mama?". Suara Dhike memecah lamunan Kinal.

"Eh, oh mereka....baik".

"Hmmm dah lama ya, aku gak maen ke rumah. Kangen deh".

Dhike? Kangen? Ada perasaan hangat yg menjalari hati Kinal saat mendwngar kata itu. Kinal menoleh ke arah Dhike, mengamati sejenak. Dulu rambutnya panjang terurai, begitu manis. Tapi kini tergantikan oleh rambut pendek, yg membuat Dhike semakin seksi dan imut. Tatapan mata tajamnya itulah yg membuat jantung Kinal berdetak tak karuan. Tatapan tsundere yg mematikan. Yg mampu menjerat hatinya.

Tapi.....ada yg lain? Sorot mata itu, redup...tak berbinar seperti dulu? Kenapa?

"Emmm Key, bulan depan ada perayaan ulang tahun kota Jakarta loh. Dan 'Great Dance' akan perform kembali. Kita di undang di acara tersebut".
"Hmm dah lama ya, dah setahun ini kamu resign. Aku berharap kamu bisa bergabung kembali, Key".

Dhike hanya tersenyum simpul, seperti ada yg mengganjal.

"Maaf ya Nal, waktu itu aku mendadak resign dari 'Great Dance". Ucap Dhike menunduk memainkan jemarinya.

"Udahlah yg lalu biarlah berlalu. Santai aja lagi...heeee". Senyum Kinal getir. Saat mengingat kejadian itu.
"Oh ya, gimana kabar cowok kamu". Nada suara Kinal di buat setenang mungkin. Sambil mengarah ke jalanan.

Lama, Kinal tak mendengar jawaban dari Dhike. Saat menoleh, Kinal tersentak. Ada seraut kesedihan di wajah Dhike yg sedari tadi sempat terlintas di benaknya. Sendu, dalam diam Dhike menghela nafas menahan sesuatu yg akan membuncah di kedua pelupuk matanya.

"Key". Kinal menggenggam lembut tangan kanan Dhike dengan tangan kirinya.

"Nal, aku dah putus...". Suara Dhike serak dengan di barengi air bening yg mengalir di pipinya.

Kinal menepikan mobilnya sejenak dan langsung menghadap ke arah Dhike. Reflek, jari tangan Kinal menyeka air mata itu. Seolah Kinal merasakan sakit yg di rasa oleh pujaan hatinya. Sontak Dhike kaget.

"Eh, ma...maaf Key. Aku gak bermaksud....". Kinal menyesali tindakannya, dia takut hal itu akan membuat Dhike tak nyaman dan menjauhinya.

Tapi, tanpa di duga. Dhike berhambur langsung memeluk Kinal, erat. Dhike menangis sesenggukan. Membuat Kinal terdiam dengan jantung yg berdebar. Itu adalah pelukan pertamanya. Meskipun begitu, pelukan itu terasa begitu menyesakkan.

Mungkin hampir 10 menit mereka masih dalam posisi demikian. Hingga Dhike mulai melepaskan pelukannya dan menyeka air mata.

"Nal, dia...ja...hat, a..ku ta..kut. laki2 itu, me...menakutkan". Isaknya.

"Key, apa yg terjadi?!". Cemas Kinal.

"Dulu, aku resign atas permintaannya. Ma..maaf, Nal"
"Aku...selalu menuruti semua keinginannya. Berusaha menjadi kekasih yg baik untuknya. Tapi apa yg aku dapat? Dia....dia sering menyakitiku, aku sering mendapatkan perlakuan kasar darinya. Tiga bulan lalu, aku masuk rumah sakit karena ulahnya". Suara Dhike begitu parau.

Kinal membelalakkan matanya, hatinya seperti teriris mendengar kisah Dhike yg begitu memilukan. Dhike menghela nafas panjang, mencoba menenangkan dirinya.

"Oh ya, kebetulan dokter yg menanganiku adalah Papamu, Nal".

Kinal gusar mendengar Dhike bertemu dengan Papanya.

"Aku sempat bertanya kabar kamu dari beliau, tapi katanya sudah lama kamu gak pulang ke rumah? Kamu sudah punya apartement sendiri. Benarkah itu? Kenapa?".

Kinal terdiam, tak tahu harus menanggapi seperti apa.

"Emmm Key, kegiatan kamu sekarang ngapain?". Kinal mengalihkan pembicaraan.

Seolah tau, kalo Kinal enggan membahas masalah kehidupannya. Dhike menanggapi dengan senyum getir.

"Setelah tragedi itu, aku hanya berdiam diri di rumah. Tapi lama2 bosan juga, akhirnya tadi aku menyempatkan diri menghirup udara bebas. Sekalian main ke rumah tante heee". Senyum Dhike mulai terlihat.

"Key, maafin aku".

Dhike mengerutkan kening. Karena dia merasa Kinal tak pernah berbuat salah terhadapnya.

"Maaf, aku gak tau kalo kamu sampe mengalami kejadian itu. Aku kira kamu sudah bahagia dengannya". Sesal Kinal.
"Kalo tahu ternyata kamu malah di sakiti, aku pasti akan menjagamu dan gak akan pernah ngelepasin kamu untuk cowok brengsek seperti dia!!". Geram Kinal.

Beberapa detik, Kinal tersadar akan ucapannya. Dilihatnya raut Dhike yg menunjukkan kebingungan, kaget dan entah apa yg tersirat di wajah cantiknya. Kinal merutuki diri atas ucapannya barusan.

"Kinal, kamu..............".
********

Tubuh Vienny terasa hampir rontok. Sebentar lagi, tulang belulangnya mungkin akan meninggalkan kulit. Lalu hancur berkeping2 seperti adegan di film kartun Tom & Jerry(?).

Seminggu bekerja di HAI Magazine benar2 menguras tenaganya. Selain menangani liputan travelling yg baru di publish. Vienny juga harus meliput untuk beberapa liputan lainnya.

*bunga matahari tertiup angin, menghadap matahari bertumbuh dan mekar*

Berasa hanya sedetik terpejam, Hp milik Vienny berdering. Dengan malas dia meraih hp di meja samping tempat tidurnya. Saat melihat nama si penelpon. Mata Vienny terbuka maksimal, rasa kantuknya langsung menghilang.

"Haiii cakep, udah di rumah?". Suara Shania begitu renyah dan ceria.

"Udah, ini hampir aja terlelap".

"Yaaah, ganggu dong?". Kali ini suara manjanya yg keluar.

"Eh, emm gak kok. Santai aja". Ucap Vienny dengan senyuman.

"Beneran nih? Asiiik... makasih cakep"
"Oh ya, kapan2 kalo lagi gak sibuk kuliyah. Aku temani kamu lipuyan ya?".

"Wah? Serius?! Pasti seru nih". Girang Vienny.

"Cieeee semangat bener aku temenin?". Goda Shania yg langsung membuat Vienny gugup.

"Eh, emm maksudnya. Kan asik gitu ada temen. Lagian kamu kan senior soal liputan. Jadi.....aku bisa dong tanya2, heee". Vienny memberi alasan semasuk akal mungkin.

"Udah ih, gak usah malu2. Kita kan bukan ABG lagi loh say"
"Lagian kemarin juga kita udah..........".


To be Continued


Writer  : Dwi Nurmala
Twitter : @dwinurmala4351
 
 

Kamis, 07 Mei 2015

Three Angels ( Part 4 )



( Melody POV )

Hampir saja aku menyerah dalam melanjutkan novelku. Tapi dia, berhasil membuatku bangkit dari keterpurukan yg di torehkan oleh kekasihku sendiri. Dia, salah satu narasumber yg malah belum aku tulis kisah masa lalunya dalam novelku. Hmmm.... mungkin nanti. Tanya saja sama author(?).

Aku duduk di teras samping rumah. Menghadap taman bunga2 yg indah. Tapi aku tak bisa menikmati keindahan itu. Berkali2 aku hembuskan nafas, saat ini aku butuh ketenangan. Tapi deadline novelku telah menanti untuk segera aku tepati.

Dua hari lalu, aku janjian ketemu dengan 'Queen Angel' narasumber terakhirku. Aku bingung bagaimana mengawali adegan untuk kisahnya. Haah...kenapa aku jadi seperti ini? Apa mungkin karena perkataan Dion waktu lalu, aku jadi menyerah? Ah, tidak! Aku gak boleh nyerah dengan impianku.

"Kenapa, sayang?". Tiba2 papa duduk di sampingku.
"Mikirin apa? Kok kayak orang linglung gitu?".

"Hmmm...bingung
, Pa. Ini soal novel".

"Pelan2 saja mikirnya". Senyum papa.
"Oh ya, besok Papa sama Mama mau ke pernikahan Rangga, anak dari om Daniel. Mau ikut?".

"Gak deh Pa, aku di rumah saja". Aku menolak malas.
"Hmmm akhirnya, nikah juga si ganteng". Aku terkekeh, mengingat raut wajah gantengnya, tapi culun.

"Kamu sih, nolak waktu itu. Kalo gak kan kalian yg besok menikah". Goda Papa.

"Yeee... Papa ih, kalo gak cinta mau gimana lagi?".

"Lah, kamu milih Dion dan nolak Rangga. Tapi, gak taunya.......".

"Maaf Pa, putrimu ini gagal milih pasangan". Potongku sambil menunduk.

Papa mengusap lembut rambutku.
"Semua akan indah pada waktunya, sayang. Nanti, kamu pasti akan ketemu seseorang yg tepat buatmu".

Aku langsung memeluknya, air mata ini mengalir dengan lancar merembeti pipiku, saat aku teringat Dion dan Mamanya.

‪#‎Flashback_On‬

Rumah mewah bertingkat yg nampak asri itu terlihat sepi. Pepohonan di samping rumahnya tertiup angin yg berhembus. Menerbangkan daun2 kering yg berguguran. Setelah merapikan penampilan, mengumpulkan tenaga, menghela nafas panjang dan membaca mantra*eh doa. Aku mulai keluar dari mobil jazz putihku. Aku menekan bel di samping pintu depanku. Jantungku makin bergemuruh kencang. Hingga gemeteran. Sungguh?

"Permisi, apa Dion ada di rumah?". Tanyaku sopan pada seseorang yg membukakan pintu.

"Oh, ada non. Monggo silahkan masuk. Duduk dulu, saya panggilkan den Dion". Ucap wanita tua yg berlalu ke dalam.

Aku duduk di sofa empuk berwarna coklat. Aku masih memainkan jemari2ku yg nampak tak tenang. Begitu resah dan gelisah.

"Mau ngapain kesini?!". Ucap Dion yg sempat mengagetkan.

Ucapannya begitu dingin. Dia mengenakan kaos dan celana pendek hitam. Rambutnya nampak berantakan. Dia beralih ke tempat duduk di sebelahku, tapi agak jauhan.

"Mau ketemu kamu, sayank". Ucapku yg langsung menggeser duduk mendekatinya.

"Buat apa?!". Jawabnya acuh.

Aku sempat tertegun dengan nada bicaranya. Tanpa di duga....

"Oh, ada tamu". Seorang wanita paruh baya menghampiri kami dan langsung duduk di sebelah Dion dengan santainya.

Wajahnya gak jauh beda dengan Dion, dingin. Tak ada senyuman di raut wajah mereka. Membuatku semakin tegang.

"Ma, ini Melody". Ucapan Dion yg nampak enggan untuk memperkenalkanku.

"Siang tante, aku Melody". Ucapku agak takut, tapi berusaha tetap senyum. Aku berdiri mengulurkan tangan dengan sopan.

"Hmm".

Tapi hanya deheman yg menyambutku, tanpa ada balasan uluran tangan. Aku semakin gugup dengan suasana seperti ini.

"Oh, ini toh Melody. Yg buat kita nunggu berjam2 cuma untuk makan siang. Udah capek2 nunggu, tapi gak datang!". Nadanya tegas dengan seringai menakutkan dan tanpa menatap ke arahku.

"Ma...maaf tante, saya minta maaf atas kejadian tempo hari. Karena kecerobohan saya dan ada acara meeting penting. Saya jadi lupa ngabari Dion". Jelasku.

"Janji aja gak bisa tepat! Gimana mau ngurusin kamu?".

Tanpa memperdulikan ucapanku, Mama Dion berucap. Lagi, tanpa memandang ke arahku. Au melirik Dion, tapi dia acuh. Sama sekali tak berusaha membelaku. Akhirnya, aku hanya diam menunduk pasrah.

"Mama kan udah bilang, cari perempuan itu yg siap ngurusin kamu dan anak2 kelak. Gak usah yg bekerja. Selain gak bisa bagi waktu. Wanita karir itu cenderung sombong"
"Apalagi kalo lebih sukses nanti. Bakal lupa dengan kodratnya sebagai perempuan!".

Aku langsung mendongak, banyak sekali yg ingin aku protes dari ucapannya.
Kalian tau? Makhluk apa yg paling menyeramkan di bumi ini, selain para setan dan dedemit?! Yah, makhluk hidup yg bernama 'calon mertua'. Tolong di catet!!.

"Iya, Ma". Santai Dion.

Mataku melotot maksimal. Telingaku gak salah denger kan? Barusan Dion bilang 'iya, Ma'. Berarti dia menyetujui ucapan mamanya?! Itu berarti dia...? Lalu, selama 2 tahun pacaran. Apa arti semua itu?!.

Aku menatap Dion dengan tajam, hingga kedua mataku terasa panas dan berkaca2. Tapi apa? Dion tak merespon tatapanku, dia malah menatap ke sudut lain. Begitu acuh. Seolah aku tak dianggap sedari tadi (play 'kekasih tak dianggap' by pinkan mambu)

Oke fine!! Kesabaranku sudah habis! Aku pergi dari rumah ini! Juga dari hidup mereka. Bye!!
Bodo amat kalopun image ku semakin jelek di mata Mamanya Dion. Aku tak peduli! Tanpa bicara sepatah kata pun, aku berdiri dan melangkah keluar. Ku tutup pintu di belakangku. Masih sempat ku dengar ucapan mamanya.

"Lihat Dion, dasar perempuan gak tau diri!". Umpatnya.

Telinga dan hatiku benar2 panas. Aku sempat berharap Dion untuk mengejarku. Tapi itu adalah harapan yg sangat tolol. Tak lama, aku langsung berlari menuju mobil dengan iringan air mata yg tak terhenti.

‪#‎Flashback_Off‬
.
.
Aku sudah tak peduli lagi tentang Dion dan Mamanya. Kini, aku harus fokus dengan tugasku untuk merampungkan deadline yg tinggal 2 bulan lagi.

Sebenarnya, aku masih penasaran dengan 'Gold Angel' yg hanya bisa di wawancarai by email. Huuft...tapi mungkin dia belum siap untuk bertemu langsung denganku. Tapi aku bertekad suatu hari nanti aku harus bisa bertemu dengannya. Harus! Aku percaya, usaha keras itu tak akan menghianati.

Oh ya, kalo soal 'Queen Angel'. Hmm....aku sempat heran. Dari dulu yg ada di pikiranku tentang para "lesbian" adalah sosok makhluk yg menyeramkan. Tapi.... aku salah. Saat aku ketemu dengan narasumber terakhirku. Dia gadis yg manis. Meski awalnya cuek. Tapi dia punya senyuman yang..........

‪#‎Kisah‬ Queen Angel#

Terdengar suara2 desahan dari kamar sebelah. Kadang suara itu di selingi dengan cekikikan suara wanita yg begitu manja di tambah suara pria yg mengeluarkan kata2 mesranya.

Gadis itu menyalakan tv di kamarnya dengan volume tertinggi. Lalu ngumpet di bawah selimut. Sama sekali tak ada niatan untuk menonton acara tv tersebut. Karena itu hanya alasan agar tak mendengar suara2 di kamar sebelah yg menyisakan luka perih begitu dalam di hatinya.

Sebenarnya yg membuat gadis itu merasa jijik bukan aktivitas di kamar tersebut. Tapi pelakunya.
.
.
Vienny, nama gadis itu. Saat berumur 23 tahun. Dia memperkenalkan kekasih hatinya kepada sang mama. Mama Vienny adalah seorang janda yg di tinggal suaminya, saat Vienny masih duduk di bangku SMP. Tak di sangka, kejadian itu justru awal kehancurannya.

Seminggu setelah perkenalan itu. Galang, kekasihnya. Tiba2 meminta putus. Alasannya, karena usia yg terpaut jauh yaitu 12 tahun dan Vienny yg masih terlihat seperti anak kecil. Padahal, saat menjalani hubungan selama 1 tahun terakhir, tak pernah Galang mempermasalahkan itu semua. Entah kenapa bisa berubah secepat itu?

Kemudian, segala tanda tanya besar terjawab sudah. Galang memutuskan hubungan dengan Vienny demi mendapatkan seorang wanita berusia 48 tahun tapi masih terlihat cantik. Seorang janda kaya yg mempunyai satu anak. Yups, dia adalah mamanya Vienny. Mereka menikah 3 bulan kemudian.

Siapa yg salah? Galang yg tergiur dengan harta kekayaan dan wanita dewasa yg masih tampak menarik? Atau Mamanya yg tidak punya hati, merebut kekasih anaknya sendiri? Atau justru Vienny?? (kayaknya yg salah authornya deh...*ngaku...wkwkwk)

Akhirnya, Vienny memutuskan untuk menyalahkan diri sendiri karena kalah saing dengan sang Mama yg mempunyai body sexy dan berpenampilan modis. Walau usianya hampir setengah abad, tapi kulitnya masih kencang, rambut terurai panjang dengan tubuh yg selalu dirawat.
Berbeda dengan Vienny yg tampak sangat amat sederhana dalam hal berpenampilan.

Dua tahun berlalu, Vienny mulai merubah penampilannya. Tapi, karena rasa malas yg sering muncul. Penampilannya kadang berubah2. Sedikit cuek. kadang sewaktu2 bisa bergaya feminin. Makin lama Vienny memutuskan untuk berpenampilan tomboy dan feminin sekaligus. Sebagai jadi dirinya.
*******

Vienny berdiri di depan pagar sebuah rumah mewah bertingkat 2. Halaman yg luas dengan hiasan taman, air mancur dan pepohonan rindang. Tampak begitu asri dan sejuk.

Kalo bukan karena melihat papan nama mencolok bertuliskan HAI Magazine di dekat pagar itu. Vienny past tak menduga rumah mewah itu adalah sebuah kantor majalah. Setelah masuk ke dalam kantor tersebut, Vienny berjalan menuju resepsionist.

"Ada yg bisa di bantu, mbak?". Sapa perempuan manis yg usianya mungkin hampir sama dengan Vienny.

"Oh iya, saya Vienny. Mau wawancara hari ini".

"Oh silahkan duduk dulu, mbak". Kemudian perempuan itu mengambil beberapa lembar kertas dari lacinya dan menghampiri Vienny.

"Silahkan isi formulirnya. Mbak Yona sebentar lagi tiba".

Lalu Vienny mengerjakan tugasnya. Setelah 10 menit formulir itu di serahkan ke resepsionist tadi. Vienny sempat melirik name tag resepsionist itu bernama Hanifah Nofel Argubie. Nama yg unik, pikir Vienny.

Tak berapa lama pintu terbuka. Seorang perempuan bertubuh mungil, rambut sebahu dan berkulit putih memasuki kantor. Dengan santai, tangannya memeluk beberapa majalah dan aerphone terpasang manis di kedua telinganya.

Hani langsung menghampirinya.
"Mbak, Yona. Ini Vienny yg akan wawancara". Katanya sopan.

Yona melepas aerphone. Memiringkan kepala sejenak. Mengisyaratkan agar Hani mengulangi kata2nya. Mendengar nama Yona, Vienny langsung memperbaiki posisi duduknya.

"Ini Vienny yg akan wawancara, mbak". Hani mengulangi.

Yona menoleh ke arah Vienny.
"Oh, 5 menit lagi kamu keruangan saya".

Vienny hanya mengangguk sopan dengan senyum.

"Mbak Yona baik loh, gak usah tegang". Komentar Hani.

Vienny tersenyum, walau masih terlihat raut kegugupannya.
Dalam 5 menit penantiannya, sejenak Vienny melirik penampilannya. Kemeja abu2 lengan panjang di padukan celana katun abu2 gelap, terkesan formal. Vienny tampak menyesal dengan penampilan yg di kenakannya. Hampir semua pegawai yg di lihatnya di kantor ini. Berpenampilan modis, santai dan fashionable.

"Silahkan duduk". Yona menunjuk kursi di depan mejanya.

Vienny duduk, lalu diam. Karena Yona masih sibuk dengan iphonenya.

"Ehem...saya sudah baca cv kamu. Ternyata sudah lumayan punya pengalaman di media". Yona menatap Vienny dalam, sebuah tatapan yg menaklukan.

"Saya sudah 2 tahun bekerja di media, mbak. Sejak lulus kuliyah". Jawab Vienny.

"Oke, boleh saya tahu kenapa kamu meninggalkan media yg lama?".

"Sebelumnya saya bekerja di surat kabar. Saya melamar ke majalah, karena saya menganggap bahasa dalam penulisannya lebih menarik daripada surat kabar. Saya ingin mengeksplor dan mengembangkan kemampuan saya". Penjelasan Vienny begitu tenang dan selalu menampilkan senyuman.

"Kenapa milih HAI Magazine?".

"Karena majalah HAI Magazine adalah majalah lifestyle terbaik di Jakarta".
*******
.
.
Bola mata Rona membelalak, mulutnya menganga lebar.

"Biasa aja kali, gak usah lebay!". Sewotku.

"Serius, Mel? Kok bisa putus?".

"Aku dah kecewa sama Dion! Pokoknya gak akan ada istilah balikan lagi, TITIK!!". Tegasku.

"Iya kalo Dion memang minta balikan. Dari cerita kamu, kayaknya dia benar2 udah gak mau sama kamu lagi deh".

Aku nyengir, komentar Rona begitu telak. Yah, gimana mau balikan? Dion sama sekali tak menunjukkan ke arah itu.

"Tapi kamu gak nyesel kan dengan keputusanmu?". Cemas Rona.

"Kamu tau kan, gimana besarnya impianku jadi seorang penulis? Saat aku bisa mewujudkan melalui perjuangan yg gak mudah. Masa iya aku harus ngelepasinnya demi Dion?".

Rona menatapku dengan penuh tanya.

"Huuuft, bukannya mau egois. Tapi aku juga berhak milih yg terbaik buatku".

"Sabar ya, Mel". Rona langsung memelukku untuk memberikan ketenangan dan *cups* dia mendaratkan kecupan di pipi kananku.

"Udah ah, bahas Dion mulu. Jadi bete kan?! Tambah laper! Makan yuk?!".
********

Meja itu berbentuk persegi panjang. Terbuat dari kaca tebal dengan besi kokoh yg menopang. Ada 10 orang yg duduk mengelilinginya, dengan Yona di kepala meja.

"Baik, mulai sekarang Vienny akan bergabung bersama kita di HAI Magazine sebagai reporter"
"Vienny, kamu siap berjuang untuk memajukan HAI Magazine?!". Ujar Yona ke arah Vienny.

"Siap!!". Balas Vienny begitu bersemangat.

Lalu Yona memperkenalkan Vienny kepala karyawan2nya. Selain redaksi, terdapat juga marketing, distribusi, finance dan Hani sebagai resepsionist merangkap administrasi.

"Vienny, kamu bisa bertanya apapun yg ingin kamu ketahui mengenai HAI Magazine. Kepada Ema sebagai managing editor di redaksi. Atau kalau perlu bisa kepada saya langsung, silahkan". Ujar Yona dengan senyum menawan.

Setelah membahas beberapa hal, meeting itu pun berakhir. Vienny sudah siap untuk menuju ruangan redaksi, saat seorang perempuan tinggi, seksi, berambut lurus sepunggung menghampirinya.

"Kamu, androgini ya? Cakep". Bisiknya.

"Maaf?!". Vienny mengerutkan alisnya, karena tak tahu harus bereaksi seperti apa.

Sempat, Vienny sedikit gugup dan canggung dengan panggilan itu.

"Santai aja, gak usah nervous gitu. Oh ya, namaku Shania". Perempuan itu mendekati Vienny dan duduk di sebelahnya, memperkenalkan diri.

"Aku Vienny". Sambil menjabat tangan dengan senyum kecut.

"Udah tahu. Kamu androgini kan? Cakep deh". Ulang Shania dengan senyum khasnya.

Vienny menegang. Darimana Shania tahu istilah itu? Istilah label dalam dunia lesbian. Hal yg akrab dengan Vienny selama 2 tahun terakhir.

"Maaf, tapi aku bukan androgini". Elak Vienny.

Shania mengangkat bahu cuek.
"Oh ya, kamu gantiib posisiku di redaksi. Aku mau ngelanjutin S2, jadi terpaksa resign. Hmm... sebenarnya aku betah di sini. Tapi mau gimana lagi. Jam kerja padat, gak memungkinkan sambil kuliyah kan". Curhat Shania tanpa di minta.

"Oh jadi aku gantiin posisi mbak toh?".

"Eh, jangan panggil mbak. Umur kamu berapa sih?"

"25 tahun". Santai Vienny.

"Iiih, aku kan masih 23 tahun". Shania cemberut.

"Oh maaf". Vienny nyengir.

"Shania!". Kepala Yona menyembul dari balik pintu ruangannya.

"Vienny, aku mau ke ruangan si boss dulu. Oh ya minta no. Hp atau pin bbmnya dong". Pinta Shania tanpa malu2.

Setelah permintaan itu terpenuhi, Shania mendekat ke arah Vienny. Begitu dekat di sebelah telinga kanannya.

"Makasih ya, androgini. *cups*. kiss emotikon

Shania mengeluarkan senyuman mautnya, kemudian berjalan dengan santai menuju ruangan Yona.

Untuk beberapa detik, Vienny terpaku. Bingung dan kaget dengan tindakan Shania barusan. Tanpa sadar Vienny bergumam "Gadis yg agresif pasti menarik".

Eh, tapi kenapa Shania bisa tau tentang label itu? Apa iya aku lesbian? Vienny bergumam lagi.

Sejak mamanya menikah dengan kekasihnya, Galang. Vienny tak pernah dekat dengan pria manapun. Lebih tepatnya menghindar. Vienny lebih nyaman bergaul dengan perempuan.

Tapi, benarkah aku lesbian? Batin Vienny selalu bertanya2.

Ini bukan kali pertamanya Vienny bertanya2 mengenai orientasi seksualnya. Sudah 2 tahun, dia bergumul dengan dirinya sendiri. Semakin tak mengerti dengan perasaanya.

Vienny nyaman bergaul dengan perempuan akibat trauma dengan pria. Tapi, Vienny juga tak terima jika dirinya di sebut lesbian? Dia masih menyimpan mimpi. Kelak bisa membina rumah tangga dengan seorang pria baik hati.

Di tengah kebingungan itu jugalah. Vienny membuat akun twitter, di mana dia bisa bergaul dengan para lesbian. Dia ingin mengetahui lebih dalam tentang dirinya. Apakah ada orang lain di luar sana yg memiliki kebingungan seperti dirinya??


To be Continued


Writer  : Dwi Nurmala
Twitter : @dwinurmala4351